Kritik: The Thesis of Refutability
ilustrasi by pngtree |
Di negara kita yang katanya demokratis ini
tidak jarang kita mendengarkan pernyataan pejabat tertentu yang mengatakan “Jangan
mengkritik aja! Kasi solusi caranya!”, “Jangan omon-omon aja, berikan solusi
dong!”. Bahkan ada seorang tokoh yang mengatakan “Kalau cuma mengkritik, tanpa memberikan
solusi itu sama dengan menulis skripsi atau penelitian hanya sampai rumusan
masalah” dan masih banyak lagi kata-kata yang bermakna sama.
Dari jabatan mereka, sepertinya orang orang
hebat, tapi entah kenapa landasan kritik aja belum mampu diaplikasikan dalam menjalankan tugasnya. Baik sangkanya -karena tidak mungkin pejabat sementereng mereka
tidak paham hal hal kayak begituan- bisa jadi berat buat mereka dikritik, atau
sebab lain; mungkin menurut mereka rakyat yang mereka pimpin cukup bodoh untuk
mengetahui landasan berpikir kritik? Entahlah yang mana yang pasti, hanya hati mereka yang tahu.
Pertanyaannya, sebenarnya bagaimana sih cara berpikir yang menyimpulkan bahwa kritik itu harus ada dalam ilmu pengetahuan?
Pembahasan kita awali dari Seorang filsuf Skotlandia bernama
David Hume (1711-1776) yang mempermasalahkan metode berpikir induksi dalam menarik
suatu hukum umum atau teori ilmu pengetahuan. Menurut Hume, tidak peduli
seberapa banyak data yang digunakan sebagai acuan, secara logis kita tidak
mungkin sampai pada kebenaran umum atau teori ilmiah tertentu. Sebagai
perumpamaan ia menjelaskan bahwa betapapun lamanya dunia ini berjalan, tidak
ada keharusan logis bahwa matahari akan terbit besok pagi sebagaimana kemarin. Kita
menganggap Matahari akan terbit sebagaimana kemarin hanya karena faktor
psikologi yang bersifat historis, bukan keharusan logis. Kemudian ia menyimpulkan,
jika demikian cara berpikir induksi, maka ilmu pengetahuan telah disandarkan
pada suatu prinsip yang tidak logis.
Jika dicermati pemikiran Hume secara teliti, ia terlihat memasukkan
dimensi kemanusiaan yang tidak pernah luput dari salah. Tentu saja, pernyataan
Hume tersebut tidak mendapat respon dari fisikawan masa itu. Pernyataan itu hanya mendapatkan perhatian dari para
pemikir filsafat selanjutnya. Salah satunya adalah Popper, seorang filsuf kelahiran Swiss. Pada 1934, Popper memecahkan apa yang dianggap masalah oleh Hume, sekaligus merubah cara pandang
ilmu pengetahuan pada masa itu. Pemecahan cara berpikir itu ia tuangkan dalam bukunya tentang metodologi ilmu pengetahuan.
Untuk meluruskan anggapan Hume, Popper menjelaskan bahwa teori ilmiah tidak didasarkan kepada pembuktian, tetapi didasarkan kepada pengujian atau ‘testable’. Artinya, kebenaran umum dianggap benar bukan karena selalu benar di manapun dan kapanpun, tetapi ia selalu bisa diuji dan lolos atau tetap berjalan meski diuji pada detik terakhir alam ini berjalan. Selama ia bisa diuji dan berhasil, masih berlaku maka ia tetap menjadi kebenaran umum, teori ilmiah yang diperkokoh ‘corroboration’. Jika tidak, maka ia tidak lagi menjadi kebenaran umum atau teori Ilmiah. Inilah yang melahirkan tradisi sains bahwa ketika teori baru; hukum yang lulus pengujian, ditemukan maka teori lama tergantikan.
Teori ilmiah yang menyatakan bahwa logam
akan memuai jika dipanaskan bukan benar karena selalu benar, tetapi benar
karena ia selalu dapat diuji dan setelah diuji tetap sama dengan pernyataan pertama.
Jika ada satu jenis logam tertentu yang didapatkan tidak memuai setelah dipanaskan
maka gugurlah sifat keilmiahannya. Kritik adalah pengujian terakhir dari suatu
teori ilmiah.
Dari sini kita bisa memahami dimensi kemanusiaan
yang dipermasalahkan oleh Hume, bahwa seditail apapun teori ilmiah manusia, tidak menyebabkan ia luput dari kemungkinan salah. Maka bagi Popper pengujian merupakan
bagian dari metode ilmiah itu sendiri. Jika tidak mau diuji, dikritik ya jangan
menjadi manusia, jadi tuhan saja dan teori Anda akan suci dari kecacatan.
Cara berpikir Popper tersebut ia istilahkan
dengan the thesis of refutability, suatu pernyataan dianggap ilmiah
ketika dibuka ruang untuk disangkal melalui pengujian. Pemikiran tersebut ia
bangun berdasarkan penalaran yang amat sederhana; bagaimanapun banyaknya data
yang menunjukkan angsa itu berwarna putih, kita tidak akan sampai pada
kesimpulan pasti bahwa semua angsa itu pasti berwarna putih. Dan cukup ditemukannya
satu angsa saja yang berwarna selain putih, dapat menggugurkan teori tersebut. Teori
ilmiah yang berlandaskan pada pemikiran induksi, sebenarnya tidak lain dari
suatu pencarian akan angsa hitam, sebagai cara untuk menguji teori semua angsa berwarna
putih. Inilah tugas ilmu pengetahuan; mencari angsa hitam dan memang harus
demikian agar ilmu pengetahuan itu berkembang.
Demian juga cara kerja dari kritik. Kritik
tidak harus ada solusi. Kritik berfungsi sebagai penguji dan observasi dari
kebenaran yang telah ada. Semua kita sepakat bahwa pesawat dibuat atas dasar
ilmu fisika dan matematik yang bersifat pasti. Kalkulasi daya angkat, daya
dorong, kapasitas dan lain sebagainya telah diukur secara matang hingga
disimpulkan ia dapat terbang jarak sekian atau dalam waktu sekian dengan bahan
bakar sekian. Tetapi toh pesawat tetap diuji karena tidak ada jaminan ia akan
selalu sebagaimana ia dibuat.
Kemungkinan pesawat mengalami kecelakaan
selalu ada sehingga harus melewati pengujian berkala bahkan sesaat sebelum ia
akan beroperasi. Pengujian ini adalah bentuk kritik. Pengujian bukan karena
teknisi tidak percaya pada industri perakit pesawat atau pada pilot, tetapi ia
memastikan apakah teori ‘pesawat tersebut bisa terbang’ masih berlaku hingga
sesaat sebelum dioperasikan. Bahkan tidak perlu seorang ahli, jika penumpang
awam melihat ada kaca, atau paku yang longgar, pihak pesawat tidak boleh
menghiraukannya. Dengan kata lain, kritik menguji pengaturan awal ‘teori’ umum.
Kita bisa bayangkan jika tidak ada
pengecekan pesawat sebelum beroperasi? Mungkin kita akan selalu menyaksikan
pesawat mengalami kecelakaan. Dilakukan pengecekan saja tetap ada terjadi yang
namanya kecelakaan.
Demikian juga dengan pemerintahan.
Dilakukan kritik oleh publik bukan untuk menyodorkan cara memegang jabatan atau
mencari solusi, tetapi ia berfungsi untuk menguji dan memeriksa apakah iya
negara yang demokratis, yang berdasarkan hukum ini masih benar demikian atau
tidak. Jika tidak, maka kritik akan memperlihatkan letak ketidaksamaan antara
dasar negara dan yang cara atau kebijakan yang dijalankan pejabat negara. oleh
karenanya, jika kritik dibungkam atau menuntut solusi, maka itu tanda bahwa
negara itu sulit mengalami kemajuan.
Untuk menutup tulisan ini saya ingin mengutip pernyataan seorang tokoh yang kurang lebih seperti ini, “Pejabat yang saya dikritik meminta solusi pada saya. Ya, saya jawab, solusinya tidak ada. Jika saya mengingatkan Anda agar tidak duduk di tengah jalan, jangan tanya lalu saya pindah ke mana? Ya, cari sendirilah. Itu tugas saya sebagai pengamat mengingatkan Anda. Sementara anda pindah ke mana ya itu kewajiban pribadi Anda sebagai seorang pejabat. Kami memilih Anda untuk mencari solusi itu, bukan justru kami yang harus mencari solusi!”.
1. Bernets, K. Filsafat Barat Abad XIX. (PT. Gramedia,
Jakarta, Jakarta, 1996).
Penulis: Muhammad Azwar, Mahasantri
Tamrinut Tullab, Yogyakarta
Posting Komentar untuk "Kritik: The Thesis of Refutability"