Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Obrolan

  


Sebenarnya saya sudah berencana menulis postingan ini sejak lama, mungkin dua bulan lalu setelah saya berbuka puasa bersama beberapa teman. Apakah banyak orang yang hadir? Tentu tidak, begitulah keadaan kita sekarang. Lima atau enam orang yang ikut cukup bagus, karena keadaan memang tidak memungkinkan untuk bisa berkumpul. Beberapan teman berada di belahan negara lain dan beberapa tak memiliki kabar. Yang pasti semoga mereka tetap sehat selalu. Aamiin.  

Bukber tahun ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya percakapan yang seringkali kami lakoni adalah mengenang masa-masa sekolah, membicarakan kenakalan, keisengan, kesenangan, sampai sekali waktu serius tentang ilmu pengetahuan. Semuanya selalu berkaitan tentang masa lalu. Namun tahun ini cukup berbeda, tentang masa lalu sedikit kami bicarakan, berganti tema masa depan; karir, pekerjaan, dan pernikahan. Sebenarnya tak ada yang saya khawatirkan dengan tema karir dan pekerjaan. Bukan karena karir dan pekerjaan saya bagus, tetapi cukup untuk tidak menyusahkan orang tua ataupun orang lain. Dan kami masih bisa membahasnya dengan santai.

Kemudian terhenti saling melirik, ketika membahas pernikahan. Hal ini wajar, mengingat umur kami sudah hampir menginjak kepala orang. Terbilang tua juga belum sebenarnya, tetapi karena sosial budaya orang sasak, umuran kami sudah seharusnya melangsungkan pernikahan. Pertanyaan “pentingkah menikah”? Membuka pintu kehenigan setelah kami sendari sore hahahihi. Secara normatif rata-rata kami menjawab, “penting”. Tetapi setelah saya telusuri lebih lanjut, kenapa dia bersifat penting. Tak ada yang berani menjawab, sekalipun itu dari teman yang sudah menikah, kalaupun ada, jawabanya klise (ibadah, sunah, menghindari zina, dsb).

Ketiadaan pemahaman mutlak tentang pernikahan membuat saya berpikir bahwa memang sudah sepantasnya pernikahan dipahami sebagai ruang abstrak. Tidak ada standar pasti tentang waktu yang tepat untuk menikah—usia, ekonomi, pendidikan tidak menentukan kualitas pernikahan. Banyak pasangan yang menikah pada usia yang matang atau memiliki ekonomi yang kuat dan pendidikan tinggi, namun akhirnya bercerai. Begitupun sebaliknya, ada yang menikah masih kecil, ekonomi masih bertergantung pada orang tua, dan pendidikan rendah, bisa mempertahankan pernikahan sampai kakek nenek.

Keabstrakan inilah yang kemudian membuat saya berpikir, kenapa banyak orang senang menanyakan waktu untuk menikah (pada orang yang belum menikah) padahal mereka juga belum menentukan pernikahannya akan dibawa kearah mana. Maksud saya begini, mereka sudah menikah, namun masih mengeluh tentang beratnya punya anak, ekonomi setelah menikah tak pernah stabil, atau beragam keluh kesah yang lain. Tidakkah mereka berpikir bahwa rutinitas menikah memang seperti itu.

Ataupun yang paling menyebalkan dari pertanyaan seputar menikah adalah, kenapa belum menikah, menikah itu enak, dan menghindari zina? Eh manusia berkepala malaikat berkelamin bejat. Kalau hormon otak sudah terinfeksi virus zina, menikah sekalipun tak akan menghentikanmu melakukan zina.

Rumitnya diskusi tentang pernikahan semakin bertambah dengan kondisi dunia yang terus berubah dengan cepat, seperti yang dijelaskan oleh Giddens sebagai "the runaway world"—sebuah istilah untuk menggambarkan pertumbuhan dunia yang tidak sejalan dengan pertumbuhan pemahaman manusia. Pertumbuhan dunia yang begitu pesat ini membuat makna pernikahan menjadi semakin kompleks. Dunia yang sudah begitu maju dalam hal teknologi dan pemahaman, namun manusia masih terbelenggu dalam pemahaman yang sederhana tentang pernikahan, seperti hanya sebagai sarana untuk memiliki anak dan menghindari zina.

Begitulah menikah, rumit bukan

Penulis; Awan Ridwan

 

Posting Komentar untuk "Obrolan"