Redaksi Pujian حمد الناعمين Ditinjau dari Relasi Linguistik dan Semantik
A. Pengantar
Islam
memiliki berbagai macam bentuk ekspresi dalam memuji Allah. Setiap pujian
memiliki keutamaan masing-masing. Keutamaan tersebut, sebagaimana umumnya dalam
keilmuan Islam sangat bergantung kepada dari sumber mana ilmu itu diambil. Dalam
hukum misalnya, Islam memiliki empat tingkat sumber hukum yang disepakati,
yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Qiyas.[1]
Dua yang pertama adalah sumber utama, sementara dua berikutnya adalah sumber
turunan yang dihasilkan oleh para ulama atau sarjana muslim berlandaskan dua
sumber pertama. Demikian juga dengan pujian, dalam menentukan validitas dan keutamaannya
harus disandarkan kepada empat tingkatan; pertama, yang paling utama
adalah pujian yang bersumber dari al-Qur’an; kedua, pujian yang bersumber
dari hadits Nabi SAW; dan lalu, pujian yang bersumber dari para ulama.
Terlepas
dari keutaman yang berkaitan dengan sumber, dalam konteks yang kita bicarakan
ini, ada hal lain yang jauh lebih mendasar sebelum mengacu kepada sumber. Sesuatu
yang mendasar tersebut adalah kebenaran dari ungkapan pujian. Percuma saja
suatu pujian berasal dari al-Qur’an atau hadist Nabi, tetapi diungkapkan dengan
berantakan, tidak jelas tata bahasa dan maknanya. Lebih parah lagi jika tidak
bersumber dari al-Qur’an dan hadits kemudian secara bahasa salah. Allah yang
seharusnya dipuji, karena kesalahan bahasa justru menghasilkan makna yang
sebaliknya atau makna lain yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Artinya,
aspek kebahasaan dari pujian menjadi sangat penting untuk diperhatikan sebelum menentukan
dan melakukan pujian itu sendiri.
Salah satu
bentuk ekspresi pujian yang salah namun sering diungkapkan oleh kaum muslimin di
Indonesia adalah حمد الناعمين.
Frasa pujian tersebut telah menyebar luas, sering kita dengar dalam berbagai kesempatan,
terutama dalam majelis-majelis dzikir dan tahlil. Meskipun telah menyebar luas
dan banyak digunakan, bukan berarti ia sudah benar. Frasa tersebut memerlukan
tinjauan ulang. Tinjauan ulang ini terutama pada dua aspek; linguistik dan
semantik. Pertanyaanya adalah di titik manakah kesalahan itu? dan bagaimana
frasa yang benar? Jawaban dari pertanyaan inilah yang akan menjadi inti pembahasan
dalam tulisan ini.
B. Titik Kesalahan
Redaksi dari حمد الناعمين ,
adalah
redaksi yang salah secara bahasa. Kesalahan ini terjadi dalam dua aspek; aspek
bahasa dan makna. Aspek bahasa, redaksi tersebut salah karena makna yang
dimaksudkan tidak sesuai dengan kata yang digunakan. Frasa حمد الناعمين,
jika kita bedah secara sharaf maka kita akan menemukan akar kata ناعم, yaitu bentuk
isim fa’il dari نعم. Kata tersebut,
jika kita tinjau dari aspek semantik, ia memiliki makna “halus”.[2]
Oleh karena itu, jika redaksi pujian itu dibaca dengan ناعمين, bentuk jamak muzakkar dari kata ناعم dan redaksi lengkapnya menjadi,
حمد الناعمين maka makna yang dihasilkan menjadi ‘pujian
orang-orang yang halus’. Ini berbeda dengan makan yang dikehendaki, yaitu ‘pujian
orang-orang yang diberi nikmat’.
Adapun nikmat dalam bahasa Arab adalah أنعم – ينعم - انعام، نعمة . Kata tersebut memiliki isim fa’il منعِم ‘zat yang memberi nikmat’ dan isim maf’ulnya مُنْعَم ‘hamba yang diberi nikmat’. Isim maf’ul, منعَم jika dijamakkan maka akan menjadi منعَمين bukan ناعمين. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kita dapat menyimpulkan bahwa redaksi yang lumrah diucapkan adalah salah. Redaksi yang benar dari pujian tersebut adalah الشاكرين حمد المنْعَمِينحمد sesuai dengan makna yang dikehendaki, ‘pujian orang-orang yang bersyukur dan orang-orang yang diberi nikmat’.
C.
Pembelaan
Meskipun demikian jelas uraian di atas, akan tetapi tetap saja ada sementara
orang yang berusaha melakukan pembelaan. Setidaknya, pembelaan itu didasarkan
kepada dua argumentasi utama, yaitu; pertama argumentasi keberadaan kata نعم dalam bahasa Arab; kedua
argumentasi penggunaan kata نعمأ yang berasal dari نعم dalam sebuah hadits. Argumentasi
pertama mereka ajukan berdasarkan kamus Lisan al-Arab yang di dalam kamus
tersebut ditemukan kata نعم yang bermakna
المسرة ‘gembira’.[3]
Argumentasi kedua mereka ajukan berdasarkan penggunaan bentuk kata yang sama
dalam sebuah hadits, "كيف
أنعم وقد التقم صاحب القرن......" yang artinya,
“Bagaimana mungkin aku gembira, sementara malaikat peniup sangkakala
telah meletakkan sangkakala di mulutnya....”.[4]
Menurut mereka, jika kata tersebut diderivasi sampai pada bentuk isim fa’ilnya
maka akan ketemu kata ناعم kata yang sama yang digunakan dalam frasa pujian yang sedang
kita bahasa. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan bahwa frasa pujian tersebut sudah
benar.
D.
Sanggahan
dan kesimpulan
Jika kita perhatikan, baik dalam argumentasi pertama maupun kedua dari pembelaan di atas, kita dapat mencermati bahwa pembelaan tersebut tidak menjawab sama sekali persoalan utama yang menjadi titik permasalahan. Argumentasi pembelaan itu hanya menjelaskan keberadaan dari kata tersebut dalam kamus-kamus induk bahasa Arab, luput dari aspek semantik yang dipermasalahkan. Argumentasi pertama misalnya, hanya menjelaskan bahwa kata نعم ada dalam kamus bahasa Arab. Argumentasi kedua hanya menjelaskan adanya penggunaan kata نعم dalam sebuah hadis, yang menurut mereka jika diderivasi sampai bentuk isim fa’ilnya akan menemukan kata yang sama yang ada dalam pujian tersebut. Tetapi, dalam kedua argumentasi itu saja, dua kata tersebut tetap memiliki makna gembira, bukan nikmat seperti yang menjadi permasalahan utama. Oleh karena itu kesalahan dalam frasa pujian di atas, berkaitan dengan aspek bahasa dan maknanya tidak dapat tertolong sama sekali. Artinya, frasa tersebut tetap salah.
Penulis: Muhammad Azwar, Mahasantri Tamrinut Tullab, Yogyakarta.
[1] Wahbah
Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fikhi, Hlm. 21
[2]
Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Hlm. 1439
[3] Ibnu Manzur,
Lisan Al-Arab, Hlm. 621
[4] Ibnu Atsir, An-Nihayah
fi Gharib Al-Hadits, Hlm. 927
Posting Komentar untuk "Redaksi Pujian حمد الناعمين Ditinjau dari Relasi Linguistik dan Semantik"