Tejo VS Tom Lembong: Bahasa dan Nasionalisme
Sebelum memulai tulisan ini, penulis perlu menyampaikan terlebih
dahulu bahwa tulisan ini tidak berkaitan sama sekali dengan calon tertentu.
Tidak berarti ketika penulis mengkritik Tom Lembong, lalu penulis mendukung
yang menjadi lawan politiknya dan begitupun sebaliknya. Ini murni karena didorong
oleh keresahan sebagai seorang mahasiswa bahasa, meskipun bukan bahasa
Indonesia dan penulis merasa perlu mengutarakan perspektif bahasa.
Beberapa hari terakhir ini nama Tom Lembong memenuhi beranda
sosial media kita. Kemunculan namanya dalam debat Pilpres menuai banyak
diskusi. Bahkan, sampai diundang oleh berbagai stasiun TV. Salah satu yang mengundang Tom
adalah Metro TV, di mana ia menjadi bintang tamu dalam acara QnA. Salah satu
yang hadir sebagai penanya dalam acara tersebut adalah Sudjiwo Tejo. Diskusi dalam acara itulah yang akan menjadi pembahasan
tulisan ini.
Dalam acara tersebut, Sudjiwo Tejo bertanya mengenai ide yang diungkapkan oleh Tom. Apakah ide itu diungkapkan murni dari
bahasa Indonesia? Atau terjemahan dari bahasa Inggris dan Jerman? Lalu Tejo mempertanyakan
nasionalisme Tom.
Kurang lebih seperti ini kutipan dari dialog acara tersebut;
Tejo bertanya, “Sorry kalau salah aku, pak Tom Lembong,
kelihatannya sampeyan tidak berpikir dalam bahasa Indonesia? Jadi,
ngomong bahasa Indonesianya merupakan terjemahan dari Inggris atau Jerman… dan
seterusnya?” lalu Tom menjawab, “Gakk gakk, itu langsung dari bahasa
Indonesia!”
Tejo melanjutkan, “Mungkinkah saya memilih Mas Anis atau Amin,
kalau Timses-nya berpikirnya tidak dalam bahasa Indonesia? Nasionalismenya
bagaimana?”
Tom menjawab, “Saya tidak melihat ada kaitan antara bahasa dan
Nasionalisme atau Patriotisme” dan melanjutkan dengan mengutip Soekarno
mengenai nasionalisme yang harus berada dalam taman safari Internasionalisme…
dan seterusnya.
Tom menjawab bahwa bahasa tidak ada kaitannya dengan Nasionalisme.
Seketika saya mengerutkan dahi dan berguman, “Ini jebolan Harvard yang
dielu-elukan?” saya yakin alumni Harvard tidak sedangkal itu. Atau, mungkin
itu hanya karena pengaruh suasana Pilpres dan menjadi Timses salah satu paslon
saja. Sehingga ia menyatakan hal itu.
Bagi penulis, pernyataan Tom adalah pernyataan yang keliru karena
justru bahasa sangat berkaitan dengan rasa nasionalis. Bahasa, bagi penulis
selain alat komunikasi, pada tataran yang lebih tinggi bahasa menampung data
pengalaman historis yang sama sekelompok masyarakat yang diungkapkan dalam
kata-kata. Sementara nasionalisme selalu dibangun di atas rasa kesamaan
pengalaman tersebut. Maka tentu bahasa sangat berkaitan dengan rasa
nasionalisme. Hal ini sama seperti pengertian nasionalisme dalam KBBI, yaitu kesadaran
keanggotaan dalam satu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama
mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan diri terhadap bangsa itu.[1]
Setiap pengalaman masing-masing bangsa berbeda dan disimpan dalam bahasa yang berbeda-beda pula. Jika ada suatu bangsa memiliki pengalaman historis tertentu kemudian diungkapkan dengan suatu istilah, maka sangat sulit untuk menerjemahkan istilah tersebut ke dalam bahasa bangsa lain yang tidak memiliki pengalaman yang sama. Sulitnya menerjemahkan pengalaman historis ini menunjukkan kuatnya perangkap bahasa terhadap pengalaman tertentu. Bahasa benar-benar mengikat seseorang dengan pengalaman bangsanya. Maka, sangat wajar ketika Bertens dalam salah satu analisisnya menyatakan bahwa Bahasa menjadi isolasi bagi bahasa lainnya. Hal ini juga, dalam interaksi antar bangsa, menyebabkan adanya bahasa serapan dengan tujuan menyerap semua konsep yang dikandung oleh istilah tertentu dapat diakomodir semaksimal mungkin.
Contoh sederhana dalam hal di atas adalah istilah-istilah hukum,
baik hukum positif maupun hukum Islam. Hukum positif lahir dalam bahasa latin,
Belanda, atau Inggris dengan historis tertentu. Untuk membawa konsep
keseluruhan dari hukum itu dilakukan banyak penyerapan dalam istilah-istilah
hukum, seperti Erga omnes; in absentia; actus reus, dll.[2] demikian
juga dengan hukum Islam yang lahir dalam bahasa Arab, seperti ‘illat, qiyas
aula, qiyas jali, qiyas khafi, dll. Semua ini menunjukkan isolasi
masing-masing bangsa dalam bahasanya.
Di tengah dunia yang menyatu seperti sekarang ini; perkembangan teknologi dan penyebaran informasi sangat cepat dan luas; tidak ada sekat satu negara dengan negara lain; adanya perdagangan bebas telah mengaburkan apa yang kita sebut dengan nasionalisme. Kecintaan pada tanah air tidak lagi dapat diukur dengan tinggal di mana dan lahir di mana? Tetapi, diukur dengan tempat di mana seseorang bisa survive, mempertahankan hidupnya. Tidak juga dengan simbol fisik; lambang negara baju adat dll. Karena simbol, dalam dunia modern lebih hanya sekedar bungkus yang tidak merepresentasikan apapun mengenai pengalaman. Simbol di dunia modern hanya permainan tanda, dari tanda ke tanda.[3] Selain itu, simbol-simbol fisik negara, tidak berada dalam benak marga negaranya. Pun jika simbol itu ingin ditempatkan dalam memori warga negara, ia hanya dapat dilakukan melalui mempelajari sejarah dari simbol-simbol itu. Dan itu tidak mudah. Maka, bahasa sebagai sistem simbol yang digunakan oleh siapapun, berada dalam tataran konsep setiap kepala warga negara, tidak mungkin membatasinya jauh lebih berefek dari hanya dengan simbol formal negara.
Demikianlah Bahasa dan Nasionalisme memiliki kaitan yang sangat
erat. Perlu di garis bawahi, tulisan ini tidak mengatakan bahwa untuk menjadi
nasionalis harus menggunakan bahasa Indonesia atau sebaliknya seseorang dapat
berpindah nasionalismenya ke bangsa lain karena mempelajari bahasa asing, atau
mempelajari bahasa asing dapat melunturkan nasionalisme. Akan tetapi, yang mau ketengahkan adalah bahasa dan rasa nasionalisme memiliki hubungan yang sangat erat.
“Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai
bahasa Asing.”
Penulis: Azwar, Mahasantri Tamtinut
Tullab, Yogyakarta.
[1] Arti kata nasionalisme - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diakses 07 Februari 2024
[2] https://smartlawyer.id/istilah-hukum-dalam-bahasa-latin/
Diakses 30 Desember 2023
[3] Haryatmoko, Etika Komunikasi; Manipulasi Media,
Kekerasan, dan Pornografi, Hal. 31
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Abad
XX Inggris-Jerman, Hal. 9
Posting Komentar untuk "Tejo VS Tom Lembong: Bahasa dan Nasionalisme"