Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemilu: Subyek dalam Bayang Pers, Medsos, dan Buzzer

Tribun.com

Antusiasme masyarakat dalam menyambut pemilu 2024 luar biasa gempat-gempitanya. Diskusi dan berbagai perbincangan mengenai pemilu kita temukan di setiap ruang dan waktu. Dengan logika waktu pendek, dan takut dianggap tidak up to date membuat fomo dalam berbagai tema perbincangan. Tentu ini tidak lepas dari perkembangan teknologi informasi sebagai generator utama produksi masa informasi. Berbagai media informasi; Televisi, Radio, Gadget, media cetak, seperti koran, majalan dan baliho memenuhi semua sudut ruang masyarakat kita. Sejak kita di atas kasur dan kamar kecil, ruang paling private, kita telah disajikan informasi melalui gadget, hingga saat beraktivitas di ruang-ruang publik, kita dikelilingi oleh suasana pemilu. Singkatnya, tidak peduli kita di mana dan kapan, kita telah dikepung dan dikondisikan untuk masuk dan terlibat langsung dalam pertarungan wacana informasi media mengenai pemilu itu sendiri.

Paling tidak, ada tiga aktor penting dalam kepungan informasi ini, yaitu Media pers informasi, media milik individu-individu, dan buzzer. Masing-masing dari mereka memiliki misi yang sama, menyebarkan informasi. Mereka menjual dengan bahasa iklan, mengklaim keunggulan masing-masing; media pers menjual dengan klaim ketajaman, kebaruan, dan independensi; media milik individu sibuk menegaskan eksistensi diri dan golongan dengan memuja paslon pilihan mereka, di samping mencaci habi-habisan yang bukan pilihan mereka; buzzer dengan gembira menyebarkan pujian dan cercaan, menyulut emosi para pengguna media sosial sesuai pesanan. Semua ini mengelilingi masyarakat, konsumen informasi. Masyarakat seolah objek yang siap digenangi sebelum ditelan dan dikendalikan informasi hingga mereka tidak bisa membedakan mana yang tepat dan mana yang keliru. Informasi yang orisinil seperti jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit ditemukan.

            Ada ratusan bahkan ribuan pers resmi, jutaan media pribadi, ribuan buzzer menyajikan informasi, tidak peduli mentah atau gosong karena digoreng sedemikian rupa. Efek dari serbuan yang masif ini sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap interaksi sederhana misalnya, dalam kesempatan-kesempatan kecil, pertanyaan teman lama ketika bertemu, pertanyaan orang tua pada anak, pertanyaan guru pada murid, dan di interaksi-interaksi lainnya, tidak jauh dari pertanyaan, “Pemilu gimana?” atau “Kamu milih siapa?” atau lebih dalam lagi, “Apa alasanmu memilih A dan tidak memilih B? dicari beserta alasan-alasan, hingga diskusi panjang pun tak jarang terjadi. Tentu semua narasi dibangun dengan logika masing-masing. Terkadang diskusi-diskusi itu melibatkan analisis sekian banyak teori yang entah dari mana didapatkan, bahkan sampai pada tensi dan sentimen yang tinggi. Tuduhan “Kamu milih A karena kamu begini dan begitu?!” Atau sebaliknya sudah lumrah kita temukan. Pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan menyudutkan, menuntut seolah subyek tertentu sudah pasti A jika memilih A atau pasti B jika memilih B. Semua di-drive oleh informasi yang diterima masing-masing subyek, tanpa menyadari tiga aktor utama dengan berbagai kepentingannya yang telah mengelilingi subyek. Aktor tersebut berperan aktif membentuk cara pandang yang dianggap rasional dan logis. Kini, bertemu kawan tidak lagi terlihat kawan, yang tampak logo partai atau bayang peraga kampanye yang dibentuk oleh media. Atau, sudah tidak lagi memiliki hubungan “referensi” ke dunia nyata partai dan politikus sama sekali, tapi lebih kepada ideologi pers, media, atau buzzer yang mengelilinginya.

Dalam keadaan yang demikian, proses hiperrealitas yang dicetuskan oleh Baudrillard tidak dapat dihindarkan. Menurutnya, ada empat tahapan bagaimana hiperealitas itu terjadi. Pertama, proses representasi, yaitu citra merupakan cermin dari realitas; Kedua, proses menyembunyikan citra dan memalsukan realitas, citra memberikan gambar yang salah mengenai realitas; Ketiga, citra menyedot habis realitas dalam suatu persembunyian yang tidak dapat dijamah oleh subyek.[1] Realitas telah hilang ditelan oleh limpahan media, kemasan informasi yang mengelilingi subyek. Tidak ada informasi yang berisi, yang ada hanya tumpukan tanda, bungkus kosong yang membingungkan. Pada akhirnya, masyarakat sangat sulit menentukan pilihan tertentu yang berdasarkan alasan-alasan yang ideal. masyarakat menentukan pilihan tertentu hanya karena dalam kesehariannya dikelilingi oleh sebagian besar media dengan ideologi apa dan buzzer milik siapa atau dengan buzzer harga berapa. Masyarakat didikte secara tidak sadar untuk memilih A atau untuk meninggalkan B.[2] Kini, alasan seseorang memilih calon tertentu; karena memperjuangkan keadilan, demokrasi, buruh, orang kecil, orang miskin dan alasan-alasan slogan kosong yang terdengar prestisius lain, dari media dan mulut politikus. Atau, sebaliknya; tidak memilih paslon tertentu karena tidak ada alasan-alasan di atas, tidak relevan.  Jawaban yang relevan adalah subyek memilih A karena Media Pers, Medsos, atau Buzzer milik paslon tersebut lebih gencar menggoreng informasi dan lebih banyak membanjiri subyek.

Lalu bagaimana cara menentukan alasan yang ideal atau bagaimana cara mengetahui realitas para paslon untuk kemudian menentukan pilihan?

Pada dasarnya tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini karena kita tidak bisa lepas dari media dalam menerima laporan realitas tertentu. Kita bisa menerima informasi suatu realitas hanya melalui media dengan berbagai variasi. Sayangnya, seperti yang sudah disinggung di awal, realitas yang hendak kita tangkap tidak jarang didistorsi oleh media itu sendiri. Oleh karena itu, kita hanya memiliki peralatan rasio untuk membersihkan informasi yang kita terima. Rasio berfungsi sebagai kritik dan filterisasi dalam menentukan mana daging, tulang, dan gajih dari informasi. Rasio dapat digunakan, pertama-tama dengan mengambil jarak dari apa yang menjadi obyek rasio itu sendiri, yaitu realitas yang telah dibungkus media. Ini harus dilakukan agar obyektifitas realitas ‘numeon’ dalam istilah Kant atau ‘phainomenon’ dalam istilah Husserl dapat ditemukan kemudian menjadikannya dalam proses intensitas untuk kemudian ber-konstitusi dalam kesadaran.[3]

 Rasio yang sudah dijelaskan di atas adalah penetral dan pembersih informasi yang telah mengalami distorsi. Agar lebih mudah dalam aplikasi sehari-hari, terdapat beberapa langkah praktis yang penulis ajukan; Pertama, ambil jarak dengan media tentunya; Kedua, sadari dengan sesadar-sadarnya akan peran media dalam melaporkan informasi, bahwa media bukanlah informasi itu sendiri; Ketiga, sadari bahwa pemilu hanya proses politik yang tidak perlu mengganggu tidur nyenyak, kerja nyaman, dan pertemanan kita sehari-hari. Sebab, saat kontestasi selesai, mereka, para politikus akan bekerja sama dan membagi siapa mendapatkan apa; Keempat, sisakan curiga dalam setiap kepercayaan dan sisakan kepercayaan dalam setiap kecurigaan. Empat langkah ini berlaku bagi semua media, buzzer, dan bahkan politikus itu sendiri. Mereka telah mendikte kita sehingga kita harus waspada atas pengkhianatan. Tidak cukupkah berbagai media telah berhasil membesarkan informasi yang sebenarnya bukanlah masalah besar? Tidak cukupkah manuver buzzer kita saksikan sesuai bayaran? Tidak cukupkah berbagai pengkhianatan kepercayaan dan janji politikus yang tidak kita sadari karena aktor-aktor tersebut selama ini? Bukankah semakin kita percaya, akan semakin dalam rasa sakit yang akan kita alami ketika dikhianati? Ingat! Saat media selesai melaporkan, mereka mendapatkan uang? Begitu juga dengan buzzer. Dan yang paling malang adalah media sosial pribadi yang mengagungkan paslon tertentu, ketika selesai pemilihan, tidak ada yang tersisa selain kebahagiaan kosong, jika menang atau dan kebencian yang dalam, jika kalah.

Karena itu semua, sebagai masyarakat umum, boleh memilih dan mendukung siapapun, tapi tetaplah pegang akal sehat, tetaplah berpikir rasional dalam menjalankan interaksi dengan keluarga, kawan dan masyarakat. Merekalah yang akan datang saat kita ditimpa musibah. Mereka yang akan mengulurkan tangan saat kita butuh dan sebaliknya, media hanya akan melaporkan informasi yang laku, politikus hanya akan bekerja sama asal mendapatkan bagian dan buzzer hanya menunggu bayaran siapa yang lebih tinggi dari yang lain.


Penulis: Azwar, Mahasantri Tamrinut Tullab, Yogyakarta.


[1] Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian, Pemikiran Kritis Post-struktural, Hal. 81

[2] Pendekatan dalam bentuk ketidakadilan sering terjadi secara tidak sadar biasa disebut dengan kekerasan simbolik. Penulis pernah menyinggung istilah yang sama, dalam tulisan yang berjudul, Transformasi Tanda dan Makna: Iklan Mengubah Sign Function Menjadi Non-Function, rantauberkarya.com atau lihat juga Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Hal. 31

[3] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Hlm. 100 

Posting Komentar untuk "Pemilu: Subyek dalam Bayang Pers, Medsos, dan Buzzer"