Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melalui Bahasa; Mempelajari Metode Awal Manusia Berpikir dan Budaya Pendidikan di Indonesia

 



Budaya menghafal dalam sistem pendidikan kita sangat kentara. Kita boleh saja tidak sepakat dengan pernyataan tersebut, namun paling tidak ada tiga argumentasi penulis yang dapat menjustifikasi adanya budaya tersebut. Pertama, tumbuh dan berkembangnya sekolah terpadu antara agama dan umum dengan ekstrakulikuler menghafal dan memiliki peminat yang tidak sedikit. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengharuskan menghafal kitab tertentu atau juz tertentu dari al-Qur’an sebagai syarat kelulusan. Meskipun yang pertama ini terbatas pada lembaga pendidikan berbasis Islam saja, akan tetapi tetap relevan untuk dijadikan contoh karena kuantitas sekolah yang berbasis Islam di Indonesia sangat besar. Kedua, adanya soal pilihan ganda dalam ilmu-ilmu yang berbasis pada pemikiran dalam ujian-ujian setiap jenjang, seperti ilmu sosial. Ketiga,  di tingkat universitas dapat kita lihat secara jelas; di ruang kelas maupun dalam mengerjakan tugas, sebagian besar mahasiswa tidak menjelaskan atau menulis pemahaman, tetapi, hanya mengambil materi dari internet, atau buku, disalin ke power point dan dibaca di depan teman-teman kelas, dibaca ulang tanpa menjelaskan maksud dari apa yang ia baca.[1] Lebih-lebih, jika tidak ada pemantik dialog aktif dari dosen. Presentator tidak paham apa yang ia jelaskan, audiens tidak tahu akan memikirkan apa dari yang disampaikan.

Budaya hafalan dilestarikan hampir di setiap lembaga pendidikan. Ada dua alasan budaya ini sulit dihilangkan; pertama, hafalan dapat dengan cepat memenuhi target. Karena hafalan dapat ditentukan yang mana saja yang akan dihafal dan seberapa banyak kuantitasnya. Materi dapat dibagi dalam setiap jam, hari, setiap minggu, dan bulan, lalu ditotalkan setiap tahunnya. Ini mirip seperti melakukan investasi barang, namun barang mati yang tidak memiliki pertumbuhan nilai apa-apa. Kedua, hafalan memudahkan guru atau dosen. Guru atau dosen tidak perlu banyak membaca, tidak perlu banyak berpikir. Mereka hanya perlu ukuran penyimpanan gawai dan laptop yang lebih besar. Kesibukan guru lebih pada administrasi, memenuhi syarat dan mencari cara agar mendapat gaji dan honorarium lebih tinggi daripada sibuk menambah literasi dan memikirkan peserta didiknya.

Memang, pada mulanya materi ilmu yang dihafal selalu hasil dari pemikiran, akan tetapi ada perbedaan yang sangat jauh antara menghafal materi dan memahami materi. Materi bersifat tetap dan mati, sementara pemikiran atau isi dari materi bersifat dinamis, terus mengalami perubahan. Pemikiran bergerak dinamis, menghasilkan berbagai konsep yang semakin kompleks. Hasil pemikiran yang dibakukan menjadi bentuk template pengetahuan; selanjutnya penulis istilahkan dengan template ilmu pengetahuan. Dalam sistem dengan budaya menghafal, apapun hasil pemikiran, mau tidak mau akan menambah kuantitas materi yang akan dihafal. Dengan kecenderungan yang demikian, alih-alih otak siswa yang tumbuh sesuai kebutuhan peradaban, justru memori komputer lah yang tumbuh karena kita lebih membutuhkan ruang penyimpanan template ilmu pengetahuan. Pendidikan tidak memperkaya hasil peradaban kita. Yang terjadi justru memperkaya perusahan teknologi karena ketergantungan pendidik dan peserta didik pada perangkat penyimpanan yang semakin besar. Sebenarnya, ketergantungan ini tidak menjadi masalah jika dibarengi dengan kapasitas otak yang semakin tinggi.  Pada akhirnya generasi yang dihasilkan adalah generasi dengan gelar panjang, namun ber-otak pendek. (maaf, jika terasa agak kasar)

Lalu pertanyaanya adalah apa dan bagaimana budaya pengajaran yang harus dikembangkan dalam sistem pendidikan?

Menurut penulis, dalam melakukan pendidikan, kita perlu memperhatikan bagaimana manusia itu pertama kali belajar. Dengan cara seperti itu, maka pendidikan menjadi suatu sistem keberlanjutan dari cara alamiah manusia belajar, bukan menciptakan lalu memaksakan cara baru yang belum tentu lebih baik. Seorang anak dibekali kemampuan yang oleh Chomsky diistilahkan dengan LAD ‘Language Acquisition Device’[2], yaitu  suatu perangkat pemerolehan bahasa yang berfungsi menerima dan menganalisa informasi secara sederhana, kemudian diungkapkan dalam bentuk bahasa. Ini adalah proses renungan manusia pertama sejak ia lahir ke dunia ini. Seorang anak mulai dengan menyerap tanda dan makna bahasa dari lingkungan sekitarnya dan terus bergerak hingga menjadi homo signan, ‘makhluk yang selalu mencari makna dari tanda-tanda di sekitarnya’.[3]

Seorang anak yang memperhatikan, artinya melakukan proses penerimaan informasi lalu memikirkannya. Anak kecil mendengar suara seseorang yang memanggil orang yang melahirkannya dengan kata ‘ibu’, lalu ia berpikir bahwa ‘ibu’ bermakna perempuan yang telah melahirkannya. Pada masa tertentu, ketika ia hendak memanggil perempuan yang sama ia akan menggunakan tanda yang sama yaitu ‘ibu’. Di masa yang lain, anak tersebut mendengar orang memanggil seorang perempuan yang melahirkan dengan sebutan ‘mama’, anak tersebut akan berpikir bahwa ada tanda panggilan yang berbeda namun bermakna sama, yaitu ‘ibu’ dan ‘mama’. Pola yang sama akan terus aktif berkembang. Sehingga, muncul bermacam-macam tanda yang merujuk ke seorang perempuan yang melahirkan. Tanda yang mereka dengar, lihat dan pikirkan akan dimodifikasi berdasarkan analisis dalam pikiran mereka sendiri. Ini menjadi alasan kenapa bahasa dan pemikiran itu terus berkembang. Bahasa melahirkan istilah-istilah baru dan pemikiran menghasilkan konsep-konsep yang baru.

Budaya yang dikembangkan dalam sistem pendidikan kita seharusnya meniru step by step dari cara manusia belajar berpikir dan berbahasa di atas. Agar yang dihasilkan adalah manusia yang berdaya dalam berpikir, bukan malah sebaliknya. Adanya perbedaan cara yang seharusnya dan cara yang dilakukan dalam sistem pendidikan ini membenarkan ucapan seorang pemikir, bernama Russell. Ia menyatakan bahwa man are born ignorant, not stupid; they are made stupid by education ‘manusia terlahir tidak tahu, bukan bodoh. Mereka dibuat bodoh oleh pendidikan’.[4] Budaya dalam sistem pendidikan sekolah menjadi tempat pertama kemampuan berpikir seorang anak direnggut dan ditumpulkan.

Jika manusia memiliki kemampuan alamiah sendiri dalam belajar, lalu kenapa kita membutuhkan lembaga pendidikan? Kenapa kita tidak biarkan saja manusia itu belajar sendiri sebagaimana ia belajar berpikir dan berbahasa pertama kali?

Argumentasi utama sebagai jawaban dari pertanyaan di atas adalah bahasa yang menjadi pintu pertama seorang anak belajar itu memiliki kelemahan. Kelemahan ini menjadi alasan dibutuhkannya sebuah sistem pendidikan yang formal dan terorganisir.

Bahasa memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut, salah satunya adalah keterbatasan bahasa dalam mengekspresikan sesuatu, baik pengalaman fisik maupun konsep.[5] Ini dapat dipahami bahwa bahasa memiliki sifat dwiarti, mengungkapkan sesuatu sekaligus menyembunyikannya. Suatu bahasa yang berisi sebuah makna tidak selalu benar seperti apa adanya yang disampaikan bahasa tersebut, tetapi mengikutsertakan pandangan tersembunyi subyek yang mengungkapkannya. Hal itu terjadi karena beberapa hal, yaitu pertama, dalam proses pembentukan bahasa melibatkan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda dengan kecenderungan dan kepentingan yang berbeda-beda -yang pertama ini akan menjadi fokus penulis dalam tulisan ini-; kedua, grammar dan sintaksis yang digunakan; ketiga, konteks pada saat bahasa itu diungkapkan; dan keempat, sejarah yang direkam sekaligus mengelilingi bahasa itu sendiri. Setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan yang tidak jarang mempengaruhi pengungkapan bahasa mengenai sesuatu. Sadar maupun tidak sadar, hal itu telah mengotori makna dari kode bahasa itu sendiri. Penyusupan kepentingan ini erat kaitannya dengan hegemoni dan ideologi dari kelompok tertentu. Hegemoni yang dilakukan oleh sekelompok orang dapat memberikan ia kekuasaan dalam menentukan maksud dan tujuannya makna. Maka, tertanamlah suatu konsep yang bukan apa adanya informasi tersebut, tetapi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kelompok yang menghegemoni.[6] Artinya, suatu anggapan benar dapat didikte oleh pemahaman sekelompok orang. Melalui step inilah ideologi dibentuk dalam suatu masyarakat.

Ideologi, adalah suatu pemahaman sekelompok masyarakat yang mereka anggap benar dan wajar tanpa sadar.[7] Sekelompok masyarakat menerima saja suatu kebenaran tanpa ada kritik atau usaha mempertanyakan. Suatu kebenaran menjadi dogma dan dapat dijaga dan diubah sesuai kepentingan kelompok tertentu. Oleh karena itu, jika tidak ada pendidikan yang mengasah nalar kritis maka akan ada potensi informasi yang diserap melalui budaya yang telah dihegemoni oleh ideologi tertentu selama proses belajar si anak adalah interpretasi informasi yang tidak apa adanya, atau yang seharusnya. Berdasarkan deskripsi ini dapat kita pahami bahwa pikiran seseorang dapat dikendalikan oleh kelompok tertentu demi kepentingan tertentu. Pengendalian untuk kepentingan kelompok tertentu inilah yang harus dicegah, dan sistem pendidikan adalah ujung tombak dari pembongkaran ideologi (baca, tanpa sadar) itu.

Masyarakat yang dikendalikan oleh sekelompok orang adalah masyarakat yang terjajah, tidak mendapatkan kemerdekaan. Ia dapat didikte sedemikian rupa untuk menjadi pelayan yang diperlakukan sewenang-wenang, tanpa sadar. Fenomena ini biasa disebut dengan kekerasan simbolik, yaitu masyarakat atau orang dapat menerima dirinya sebagai korban; menerima untuk dijajah dan dieksploitasi.[8] Kemampuan melihat adanya kekerasan dalam bentuk simbolik dalam masyarakat ini yang dibutuhkan dan mestinya dihasilkan oleh dunia pendidikan. Oleh karena itu, maka kita tetap membutuhkan lembaga dan sistem pendidikan. Pendidikan dengan sistem yang membudayakan pendekatan nalar kritis dalam pengajaran. Suatu lingkungan pendidikan yang memastikan peserta didik memahami sesuatu lalu berimajinasi dan berargumentasi. Hal itu akan menghasilkan kebebasan berpikir lalu kebebasan itu akan melahirkan critical thinking dan disusul oleh inovasi dan kreasi. Komponen-komponen ini akan mendorong adanya konsep, cara pandang, pemikiran baru sebagai alternatif yang lebih mutakhir dalam peradaban manusia.

Di akhir tulisan ini penulis memberikan kesimpulan, yaitu; pertama, budaya hafalan dalam sistem pendidikan kita benar adanya; kedua, kita perlu memperhatikan cara manusia pertama kali belajar dan menerapkannya dalam proses belajar mengajar; ketiga kita tetap membutuhkan sistem pendidikan formal karena melalui sistem inilah kita dapat membersihkan informasi yang digenangi oleh berbagai kepentingan dan ideologi kelompok tertentu; keempat, budaya hafalan harus diubah menjadi budaya berpikir dan bernalar kritis.

 

Penulis: Azwar, Mahasantri Tamtinut Tullab, Yogyakarta.



[1] Dalam contoh yang ketiga ini, memang tidak ada penelitian yang spesifik, tetapi jika kita memperhatikan presentasi di ruang kelas, sebagian besar akan setuju dengan pernyataan penulis.

[2] Wati Susiawati, Al-Jurjani versus Chomsky, Hal. 2

[3] Muhammad Azwar, Transformasi Tanda dan Makna: Iklan Mengubah Sign Function Menjadi Non-function, rantauberkarya.com, diakses 04 Januari 2024. Lihat juga, Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Hal. 3

[4] Bertrand Russel, History of Western Philosophy, Hal. 694

[5] Sukamto Said, Jurnal Adabiyat,Vol. 1, No.1, Mei 2002, Hal. 29-42. Lihat juga K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Hal. 30

[6] Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan, Hal. 54

[7] Ibid, Hal. 53

[8] Dr. Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Hal. 31. Perlu penulis tambahkan bahwa kekerasan simbolik dimulai dari pembajakan sistem tanda ‘bahasa’ dalam menciptakan makna, konsep dan ideologi oleh kelompok tertentu dalam masyarakat.

 

Posting Komentar untuk "Melalui Bahasa; Mempelajari Metode Awal Manusia Berpikir dan Budaya Pendidikan di Indonesia"