Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Koko Day dan Percakapan Akademisi

 


Mungkin sudah satu jam lebih saya dan Osama[1] duduk di salah satu warung kopi bernama Koko Day. Ini bukan kali pertama saya datang, tapi kali kesekian seringnya. Entah berdua, sama keluarga, atau hanya sendiri. Saya memang sering kesini, sekedar duduk menikmati Tempe Mendoan atau hanya menulis dan membaca. Saking seringnya, pelayan disini sampai hafal menu apa yang akan saya pesan.

Tempat ini sering saya kunjungi karena merasa tenang dan nyaman, sialnya, kondisi tenang dan menyenangkan sedikit ternodai oleh pengunjung yang ada disamping saya. Mereka berdiskusi dengan nada tinggi persis seperti ibu-ibu kampung yang bergosip tentang salah satu warga yang kedapatan selingkuh (bukan menjustifikasi).

Umumnya saya suka mendengar orang berdiskusi, bahkan tak jarang saya mencari ruang diskusi, tapi kali ini berbeda, saya terganggu. Padahal mereka sesekali menyebut almamater tempat mereka berkuliah. Saya S2 di Yogyakarta, saya di Malang, saya sedang susun tesis, suara mereka lantang, mungkin dari radius 50 meter suara mereka masih terdengar.

Topik besar mereka politik. Terus kenapa terganggu, bukankah di pojok parkir sekalipun politik adalah topik yang biasa saat ini? Iya, itu memang topik yang umum. Yang membuat saya terganggu adalah data yang mereka ungkapkan. Mereka adalah akademisi sebab satu diantaranya menyebut dirinya adalah dosen satunya masih mengatur rencana S3 dan satunya sedang menyusun Tesis. Pertama kali mendengar mereka bertukar suara saya berharap mereka akan memberikan data yang banyak dan saya bisa belajar, tetapi ini tidak.

“Pasti dua putaran (pemilihan presiden), Prabowo hanya menang di Jawa, tidak di pulau lain, walaupun suaranya 50%+1 tapi kan gak dapat 10% di setiap wilayah, maka harus masuk dua putaran”. Argumen ini tidak mereka perdebatkan, hanya melanjutkan siapa yang akan menang.

“Dari pada pilih Ganjar, saya lebih baik mati”

Dua argumentasi itu saya garis bawahi karena fatal bagi telinga saya.

Soal data pertama, saya langsung jawab menggunakan UU Pemilu, syarat Pilpres satu putaran tertuang dalam Pasal 416 Ayat 1 Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Syarat menang Pilpres satu putaran adalah ketika ada calon Presiden dan Wakil Presiden memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara pemilu dengan 20% suara di setiap provinsi. Syarat ini juga diatur dalam pasal 6A UUD Negeri RI tahun 1945, yakni pasal 6A ayat 3. (Silahkan baca)

Sedangkan tentang data kedua, saya lumayan bingung untuk menyikapi. Saya bukan pendukung Ganjar, saya Anies. Tapi logika apa yang dipakai oleh seorang yang sudah selesai S2 menuangkan argumentasi “lebih baik mati daripada harus memilih Ganjar”?

Topik selanjutnya tentang bagaimana proses mereka menyelesaikan studi. Disela-sela pertukaran suara tentang politik, ada juga pertukaran suara tentang keinginan mereka melanjutkan studi S3 ke Malasyia.

“Ayok S3 barengan ke Malasyia, Ajak salah satu dari mereka”. Mendengar kalimat ini, dopamin saya seketika terasa bergairah. Semoga topik ini tidak sekacau topik politik tadi.

“Ayok—ayok, tapi TOEFL saya kurang”. Jawab salah satunya

“Kita bayar, dulu saya juga begitu saat mau masuk S2 di Malang, bayar”. Celetuk salah satunya

Seketika dopamin saya langsung menghilang untuk tidak lagi mendengar percakapan mereka. Ditambah ocehan mereka tentang fungsi pendidikan yang hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan materi membuat saya makin mengutuk percakapan mereka, tapi tentu dalam hati.

Saya jadi ingat teori Planned Obsolescence, atau keusangan terencana. Konsep yang mengacu pada strategi bisnis di mana produsen dengan sengaja merancang produk mereka sedemikian rupa sehingga memiliki umur pakai yang terbatas, mendorong konsumen untuk menggantinya dengan produk baru dalam jangka waktu tertentu. Curiga saya, pendidikan kita juga memakai teori ini. Dalam konteks ini, keusangan terencana dapat diartikan sebagai pembatasan pengetahuan atau informasi yang disediakan oleh produsen pendidikan (pemangku kebijakan), sehingga setelah beberapa waktu, pengetahuan tersebut menjadi usang atau tidak relevan. Sehingga hasil yang kita lihat tentang buah pendidikan kita tidak jarang melahirkan akademisi yang berdiskusi dan berdebat tentang sentimen atau bahkan tak jarang hanya bertukar suara tak ada pengetahuan apalagi data.

Jika produk pendidikan didesain dengan sengaja untuk memiliki keterbatasan pengetahuan, maka pertanyaan yang akan muncul tentang tujuan utama pendidikan, apakah relevansi pengetahuan?

Tulisan ini saya selesaikan sebelum pantat dan kepala akademisi disamping saya diangkat dari tempat duduk mereka. Selama menulis ini juga saya dan Osama mendengar ocehan mereka. Dan sekali waktu kami menggunjingnya, salah satunya dalam tulisan ini. Kami juga tak lupa menanyakan tentang diri kami, jangan-jangan kita juga sering seperti mereka, sambil tertawa.

Penulis: M Darmawan



[1] Teman saya yang terobsesi diet. Tetapi saya selalu memintanya untuk makan yang banyak. Hahaha

Posting Komentar untuk "Koko Day dan Percakapan Akademisi"