Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Politikus: Bahasa, Media dan Penyampaian Gagasan

 

Gagasan merupakan hal yang penting jika ingin menjadi seorang pemimpin, terlebih pada tahun-tahun Pemilu—gagasan menjadi salah satu pintu untuk mengetahui kapasitas seorang calon pemimpin. Secara definisi gagasan merupakan segala sesuatu berupa ide atau hasil pemikiran untuk dituangkan dalam suatu argumentasi dan dibagikan untuk ditelaah oleh masyarakat. Apakah gagasan yang disampaikan memiliki bobot? Atau apakah yang mengagas memiliki rasionalitas?

Penyampaian gagasan biasanya dalam bentuk bahasa, baik teks tertulis maupun terujar.[1] Bahasa, sebagai medium utama penyampaian gagasan, memiliki peran sentral dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Dengan kemampuannya yang unik, bahasa menjadi alat yang dapat mengungkapkan dan menyembunyikan ide-ide kompleks. Keberhasilan atau kegagalan penyampaian gagasan seringkali tergantung pada kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dengan tepat dan jelas. Sayangnya, bahasa memiliki karakter ganda—dwiarti yang memungkinkannya untuk mengungkapkan sesuatu sekaligus menyembunyikan.[2]

Dwiarti bahasa merujuk pada kemampuan bahasa untuk memiliki dua arti sekaligus. Ini menciptakan kompleksitas dalam pemahaman dan interpretasi. Meskipun bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan ide, penggunaannya bisa menjadi tantangan karena kemungkinan multi tafsir. Seiring dengan kemampuan bahasa untuk menyampaikan makna yang jelas, terdapat potensi untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya. Oleh karena itu, penekanan pada kejelasan dan ketepatan bahasa menjadi suatu keharusan.

Dalam dunia politik, penggunaan bahasa menjadi krusial. Ironisnya, hal ini tidak selalu diatasi dengan menggunakan bahasa yang jelas. Sebaliknya, para politikus terkadang memilih untuk menggunakan bahasa implikatur, yaitu bahasa yang memiliki makna tersirat, memungkinkan mereka untuk menyembunyikan maksud dan tujuan sebenarnya.[3] Politikus seringkali menggunakan kata-kata yang bersifat ambigu atau retoris untuk menciptakan ruang bagi interpretasi yang beragam. Mereka mungkin menyampaikan suatu gagasan tanpa mengungkapkan secara eksplisit, membiarkan ruang untuk asumsi-asumsi liar. Tindakan ini dapat memberikan keleluasaan kepada politikus untuk beradaptasi dengan perubahan situasi atau bahkan menghindari pertanggungjawaban atas suatu pernyataan.

George Orwell seorang novelis terkemuka pernah menyinggung mengenai bahasa para politikus. Sebagian besar bahasa politikus adalah bahasa yang terdiri dari eufemisme pendapat-pendapat yang seharusnya dipertanyakan dan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas. Bahasa politikus dirancang untuk membuat dusta seolah benar, pembunuhan menjadi seolah mulia, dan omong kosong yang terdengar meyakinkan.[4] Dalam sebuah lelucon lama, politikus juga disindir, Bagaimana cara agar kita tahu kapan politisi berbohong? Setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka.[5] Artinya bahasa digunakan oleh politikus sebagai ornamen kebohongan yang terus-menerus.

Pada masa lalu, penyampaian gagasan politikus kepada masyarakat dilakukan secara langsung, tanpa adanya jarak yang memisahkan politikus dan rakyat. Namun, dengan munculnya teknologi informasi dan media modern, paradigma komunikasi politik telah berubah drastis. Media, yang pada awalnya menjadi alat untuk menyampaikan informasi, kini menjadi medan pertempuran antara kepentingan politik, ekonomi, dan redaksi sensasional. Dalam perubahan ini, terjadi kemajuan sekaligus kemunduran yang perlu dipertimbangkan.

Dulu, politikus berbicara langsung dengan masyarakat, melibatkan mereka dalam dialog langsung, tanpa adanya transaksi atau perantara. Hal ini memungkinkan pertukaran gagasan yang lebih mendalam dan interaksi yang lebih personal. Namun, era digital mengubah dinamika ini. Media modern menjadi ruang penyampaian gagasan politikus. Menariknya media modern menjadi ruang dimana gagasan politikus dapat diubah, dipotong, atau dimanipulasi agar sesuai dengan kebutuhan pasar atau kepentingan tertentu. Logika pendek media masa, yang mementingkan kepentingan pragmatis, menghasilkan informasi yang picisan, cepat saji, dan jauh dari makna mendidik dan mencerdaskan. Media seringkali membuat masyarakat terpapar pada informasi yang telah mengalami distorsi. Fakta yang seharusnya bersih dan jelas menjadi kabur di tengah manipulasi media.

Media seakan menjadi ruang yang dimanfaatkan politikus untuk mengggunakan dwiarti bahasa dalam menyampaikan gagasan. Politikus dengan kekuatan finansialnya mampu mengontrol bahasa yang baik untuk disajikan pada ruang publik. Semua arah infomasi dapat dibuat, direkayasa dan dijaga kebenarannya.

Pada dasarnya media tidak dapat disalahkan sepenuhnya dalam memproduksi infomasi. Akan tetapi pengguna media kita juga mendukung fenomena yang demikian, infomasi yang sensasional, spektakuler dan superfisial menjadi jualan yang laris-manis. Masyarakat hanya menginginkan infomasi yang sesuai dengan keinginannya, telah mampu mendorong media melepas idealismenya. Padalah jika kita menengok kebelakang kehadiran media diharapkan menjadi ruang pertukaran infomasi yang mendidik nalar masyarakat.

Semua hal di atas menjadi tantangan tersendiri bagi media dan masyarakat dalam mengolah infomasi sebelum memilih calon pemimpin. Pilihan yang tepat membutuhkan pemahaman yang mendalam, pembacaan yang komprehensif dan pertimbangan yang rasional. Lalu bagaimana dengan bahasa, kata-kata politikus dan media dalam pilpres kali ini?

Jika kita diperhatikan semua gagasan para politikus ketika mendekati tahun pemilu, selalu menggunakan bahasa yang tidak jelas dengan adagium yang bermacam-macam. Adagium dalam bentuk kalimat atau kata yang singkat, namun manipulatif. Sebagai contoh adagium yang gencar disuarakan oleh calon pemimpin Indonesia adalah; perubahan, slepet, gemoy, maju, salam tiga jari dan masi banyak lagi. Semua adagium ini adalah bentuk bahasa iklan, bahasa yang penulis pahami sebagai bahasa ruang keterjebakan.[6] Bahasa jenis ini memang dapat mempermudah dalam mengingat dan memahami, namun sekaligus sangat mudah memanipulasi sehingga perlu pembacaan holistik mengenai gagasan di balik adagium itu. Apakah ia dalam slepet, gemoy, dan salam tiga jari merefresentasikan gagasan yang rasional dan pro rakyat?

Pembacaan yang menyeluruh, pemahaman yang mendalam, kejernihan pikiran, ketajaman mengolah infomasi, dan kejelian sangat diperlukan sebelum menentukan pilihan. Pemilih tidak boleh tertipu hanya dengan gemoy, Indonesia maju, slepet, perubahan, salam tiga jari, tuanku ya rakyat, dll. Masyarakat harus cerdas dalam memilih. Masyarakat harus mencoba memahami semua gagasan secara menyeluruh, tidak hanya adagium dan frasa yang muncul di beranda media sosial ataupun baliho-baliho di jalan, namun juga apa yang berada di balik itu semua karena the truth is the whole.[7] Apakah benar? Apakah rasional? Apakah realistis?

Penulis: 
Muhammad Azwar, Mahasantri Tamrinut Tullab

[1] Pengertian ini penulis acu dari penjelasan Halliday mengenai teks. Teks adalah segala sesuatu yang termasuk dalam bentuk realitas penggunaan bahasa, baik yang terujar maupun yang tertulis. Teks adalah langue yang nyata atau biasa dikenal dengan istilah parole dalam lingusitik. Silahkan bandingkan dengan Halliday, Halliday’s Introduction to Functional Grammar, Hal. 3

[2] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Hal. 30, lihat juga, Prof. Dr. Kaelani, Filsafar Bahasa, Semiotika, dan Hermeneutika, Hal.69

[3] Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa masyarakat dan kekuasaan, Hal. 55

[4] Ibid, Hal. 63. Lihat juga Haryatmoko, Etika komunikasi; manipulasi media, kekerasan, dan pornografi, Hal. 70

[5] Ibid, Hal. 63

[6] Muhammad Azwar, Tranformasi Tanda dan Makna; Iklan Merubah sign Fuction Menjadi Non-function, rantauberkarya,com, Diakses 28 Des 2023.

[7] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Hal. 20

Posting Komentar untuk "Politikus: Bahasa, Media dan Penyampaian Gagasan"