Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Pluralisme Islam Sebagai Upaya Meresolusi Konflik-Konflik Sosial Keagamaan.

 



Dinamika hubungan religio kultural masyarakat dewasa ini tengah mengalami banyak persoalan, apakah itu yang berbentuk konflik keagamaan secara ideologis murni maupun secara kontekstualitas beragama. Telah banyak contoh kasus yang menunjukkan hal tersebut, konflik di Sampang Madura, Ambon, Lombok dsb. Dalam hal idealitas konseptual, patologi keagamaan menunjuk pada banyaknya aliran-aliran keagamaan yang sering kali dianggap berbeda dan bertentangan dengan aliran yang lain. Seperti pluralisme, radikalisme, relativisme, dan sebagainya yang menunjukkan betapa kompleksnya persoalan keagamaan kita.

Dalam tulisan ini, penulis ingin memaparkan tentang pluralisme beragama khususnya dalam agama Islam, sebagai bentuk partisipasi teoritis dalam meresolusi konflik-konflik sosial keagamaan yang dewasa ini muncul. Pluralisme secara etimologi, berasal dari dua kata, yakni plural dan isme. Plural artinya banyak, dan isme artinya paham atau pemahaman. Dengan demikian pluralisme adalah paham yang banyak.[1] Secara terminologi banyak sekali pengertian yang dipaparkan para ahli, namun dalam hal ini penulis ingin mengutip pengertian yang dibuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pluralisme menurut MUI adalah paham yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh karena itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanyalah yang benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga dan akan hidup berdampingan di dalam surga kelak.[2] Pemaknaan semacam ini membuat pluralisme agama dinilai bertentangan dengan ideologi Islam.

Pluralisme dalam Islam, meminjam pernyataan Nurdin Sarim, sebenarnya tidak memiliki landasan teologis yang kuat. Secara historis paham tersebut lebih dipengaruhi oleh aktivitas liberalisasi paham keagamaan yang dilakukan oleh agama-agama “tetangga”. Salah satu teolog beragama kristen yang dianggap bertanggung jawab dalam munculnya pluralisme agama dalam tradisi agama kristen adalah prof. John Hick. Dasar pernyataan demikian adalah pendapatnya yang mengatakan bahwa pada dasarnya seluruh agama memiliki konsepsi yang sama tentang yang maha segalanya, yaitu Tuhan semesta Alam. Menurutnya, Tuhan seluruh agama itu sama yang membedakan adalah penyebutannya saja.[3]

Pendapat Hick ini kemudian banyak diadopsi oleh beberapa pemikir agama hindu, budha, termasuk Islam sehingga muncullah tokoh-tokoh plural yang semakin mematangkan eksistensi kaum pluralis di bumi ini, seperti Mahatma Gandhi dari India, Guru Nanak, Gus Dur dan sebagainya. Namun demikian jauh sebelum hal tersebut terjadi, cikal-bakal pluralisme agama terjadi mulai sejak masa renaissance Eropa yang terjadi pada abad ke 18 dimana agama dipandang sebagai kekuatan otoriter yang membuat ilmu pengetahuan mengalami stagnasi[4].   

Dalam sejarah Islam, memang tidak dikenal istilah pluralisme sebagaimana yang diterjemahkan dalam definisi di atas, namun substansi atau mungkin nilai-nilai yang melatari kemunculannya sudah ada bahkan sejak masa Nabi Muhammad. Apa yang disebut toleransi beragama bisa dikatakan sebagai tonggak awal terbangunnya pandangan pluralisme ini. Pada masa nabi, sering kali Rasulullah menunjukkan toleransi keagamaannya dengan tidak melakukan peperangan dengan orang-orang yang beragama lain selama mereka tidak menyerang umat Islam.[5]

Demikian pula halnya pada apa yang terjadi di masa khulafaur rasyidin, dimana para khalifah memiliki toleransi keagamaan yang tinggi. Umar bin khattab ketika menaklukkan sebuah gereja, dia tidak mau berdoa di dalam gereja karena tidak ingin, umat muslim waktu itu, akan mengubah gereja itu menjadi masjid[6]. Artinya Umar bin Khattab berkeinginan untuk tetap menghormati prosesi agama lain (Kristen). Juga demikian halnya dengan Salahuddin Al-ayyubi ketika dia berhasil menaklukkan Yerusalem kemudian memasuki sebuah gereja disana. Saat itu dia melihat patung yesus yang disalib tergeletak di lantai diakibatkan peperangan yang terjadi, dengan kebijaksanaannya dia mengangkat lambang salib itu dan meletakkannya pada tempat yang sewajarnya[7]. Demikian halnya dengan Al-makmun yang memulai melakukan percobaan-percobaan dalam menyelaraskan syariah dan negara yang meskipun pada kenyataannya, Al-makmun tidak bisa melepas diri dari dominasi intervensi kaum intelektual mayoritas pada waktu itu.[8]

Semua contoh kisah para pemimpin umat islam di atas menunjukkan betapa mereka memiliki toleransi yang tinggi dalam hal keagamaan. Toleransi semacam inilah yang pada kemudian hari bermetamorfosa menjadi paham keagamaan yang semakin liberal dan mulai keluar dari garis-garis teologi keislaman yang bersifat prinsipil.

Proses dinamika pemahaman dari toleransi beragama yang normatif menuju pluralisme agama tidak bisa dipungkiri banyak dipengaruhi oleh konflik keagamaan yang terjadi, dimana antara agama dan lainnya sering kali hadir dalam wajah yang vis a vis sehingga tidak jarang konflik berdarah mewarnai interaksi sosial mereka. Patologi sosial semacam inilah yang kemudian mempengaruhi beberapa kelompok untuk mencetuskan paham yang bisa merangkul semua manusia dengan segala agama-agama mereka.

Dari sudut pandang teologi Islam, pluralisme tentulah bertentangan dengan prinsip ideologi Islam. Dalam Islam agama yang benar hanyalah agama Islam, dialah satu-satunya agama yang diridhoi Tuhan sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran. Maka dengan demikian pluralisme cenderung memunculkan konflik keagamaan baru yang bergerak dalam bidang peperangan pemikiran (Ghozwul fikri).

Sebagai langkah solutif, untuk bisa mengadopsi prinsip dasar pluralisme yang secara komposisi pemikiran tidak bisa dipungkiri bahwa dia menawarkan konsep kerukunan beragama, dimana hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir konflik keagamaan. Dalam hal ini Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia menawarkan konsep pluralitas. Pluralitas ditunjukkan pada sebuah sikap menghargai agama-agama lain namun tidak sampai pada menganggap seluruh agama benar dan akan masuk surga. Paham ini bergerak lebih pada menghargai agama-agama untuk tetap menjaga kerukunan[9].

Pluralitas dan pluralisme dibedakan sebagai langkah alternatif mengakomodasi prinsip kerukunan agama dalam salah dari keduanya yang dianggap sesat. Sejatinya, hidup beragama adalah hidup yang mengajarkan kerukunan. Apapun namanya, jika hal itu tentang menjaga kerukunan sosial masyarakat menurut hemat penulis adalah hal yang baik dan patut diperjuangkan.

Penulis: M Darmawan



[1] Wikipedia.com.

[2] Adian Husain dalam Muhammad Nurdin Sarim. Telaah Kritis Pluralisme Agama (Sejarah, Faktor, Dampak dan Solusinya), Makalah.

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibnu Hisyam. Siroh Nabawiyah. Hal 203

[6] Hasan Hanafi. Melacak Akar Historis Krisis Kebebasan Dan Demokrasi Dalam Islam. Dalam Bernard Lewis. Islam Liberalisme Demokrasi. Terj. (Jakarta: Paramadina, 2002) hal 204

[7] Kingdom of heaven. Sebuah Film (2009)

[8] Marshal G.S. Hudgson. The Venture of Islam. (Jakarta: Paramadina, 2002) Hal 317




Posting Komentar untuk "Memahami Pluralisme Islam Sebagai Upaya Meresolusi Konflik-Konflik Sosial Keagamaan."