Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Eleutheria in Plato: Menjadi Manusia Bebas Berarti Memenuhi Kodratnya sebagai Makhluk Rasional

 



Karya fenomenal dari Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2011), menggambarkan manusia telah berkembang begitu pesat dengan segala bentuk kompleksitas dinamika kehidupan yang dialaminya selama ribuan tahun terakhir. Manusia telah melewati dinamika fase revolusi yang sangat panjang. Dimulai sejak revolusi kognitif sekitar 700 tahun silam, revolusi pertanian sekitar 12.000 tahun silam, hingga dalam fase keadaan manusia dewasa ini, yakni revolusi sains yang bisa–jadi dapat memetakan sejarah baru, atau bahkan mengakhiri sejarah peradaban manusia. Lantas dalam perkembangan manusia seperti ini, sesungguhnya keleluasaan serta kebebasan sepenuhnya tentu manusia memiliki, manusia bebas melakukan apapun, penulis sedikit menerka bahwa salah satu karya apik yang menggambarkan kebebasan manusia adalah dengan congkak dan bangga menamai dirinya sebagai Homo Sapiens (manusia bijak).

Pertanyaan besarnya adalah, apakah dewasa ini manusia sudah sepenuhnya bijaksana? apakah kebebasan yang dimiliki manusia telah memanusiakan manusia lainnya, atau justru menimbulkan keresahan umat manusia karena memaksakan kehendak berdasar pada ambisi dan ego pribadi atau kelompok tertentu? apakah manusia telah mengenal dirinya sepenuhnya? Jika lantas telah bijak sepenuhnya, tentu saat ini kita tidak akan berada pada zaman penuh ancaman, kepunahan akibat isu lingkungan yang kian hari kian parah, sampah, iklim, lapisan ozon yang mulai menipis, manusia yang dilucuti oleh sistem kerja yang tidak lagi memanusiakan manusia. Ancaman disrupsi digitalisasi bagaikan nightmare disorder yang suatu waktu akan meniadakan dan melunturkan kebanggaan subyektif tertinggi manusia sebagai makhluk sosial.

Rupanya, –Manusia belum bijak-bijak amat. Manusia masih banyak yang dilucuti oleh standar peradaban di abad 21 yang sama sekali tidak beradab. Terdapat hal menarik dalam buku 21 Lessons for the 21th Century karya Yuval Noah Harari. Baginya ditengah peradaban yang melanggengkan praktik tidak beradab, manusia perlu berkaca dan merefleksikan diri kepada the oldest advice dari Socrates yaitu “Gnothi Seauton” atau “know yourself”, –Kenalilah dirimu sendiri. Nasihat ini sangat urgen untuk segera direnungi kembali oleh manusia dewasa ini. Nasihat ini memiliki implikasi penting dalam melihat idealnya manusia berperilaku bebas di masa mendatang, sebagaimana pemikiran Plato tentang Eleutheria (kebebasan) bahwa manusia boleh saja bertindak bebas sesuai kehendaknya, dengan catatan: menjadi manusia bebas berarti memenuhi/mengoptimalkan kodratnya sebagai makhluk rasional.

Baik pada era dewasa ini, atau bahkan era mendatang, tentu ilmu pengetahuan akan semakin berkembang, namun dilematisnya justru dewasa ini manusia malah defisit kebijaksanaan. Oleh sebab itu, dalam uraian esai ini penulis tertarik untuk membawa pembaca untuk merefleksikan kehendak bebas sebagai manusia secara esensial yang bermuara kepada kebijaksanaan melalui pemikiran Plato tentang apa yang disebutnya sebagai Eleutheria: Kebebasan.

Kajian tentang kebebasan telah hadir di ruang diskusi tokoh-tokoh yunani kuno, salah satu yang cukup getol bersuara tentang kebebasan ini adalah Plato. Pemikiran Plato tentang eleutheria atau kebebasan telah banyak mengilhami pemikir-pemikir setelahnya. Lebih lanjut konsep eleutheria atau kebebasan ini telah mengalami berbagai penafsiran secara kontekstual dan dikembangkan oleh filsuf-filsuf kontemporer seperti P. Chantraine, Benveniste, Martin Heidegger, Hegel dan lain-lain.

Perlu digaris bawahi, kebebasan dalam dalam tulisan ini bukan berarti kebebasan dalam definisi kajian mengenai libertas, liberty, freedom sebagaimana telah dipetakan oleh pemikir kontemporer. Konsep eleutheria dalam tulisan ini menitikberatkan kepada kehendak individu yang bermuara pada kebijaksanaan. Oleh sebab itu, perlu diperjelas bahwa standing position penulis hanya akan fokus melihat konsep eutheria ini sebagai pemenuhan kodrat manusia sebagai makhluk rasional sebagaimana pemikiran Plato.

Dalam pemikiran Plato, tafsir awal mengenai eleutheria  menimbulkan kritik yang menggambarkan bahwa kebebasan yang dimaksud memiliki kecenderungan politis. Ditinjau secara etimologi kata “eluth-, eleuth-“ yang artinya “pergi ke mana kita mau”. Kalimat “to elthein hopou erai” berarti “pergi ke mana pun yang kita anggap baik”. sekilas definisi etimologi ini terlihat baik-baik saja, namun jika mengacu pada konteks zaman itu, terdapat kontradiksi bahwa masih ada kelas sosial yang merenggut kebebasan manusia, yaitu kaum budak yang kebebasannya terenggut dan gerakannya dibatasi. sehingga, kritik terhadap pemahaman filosofis atas eleutheria seringkali membawa orang ke pemaknaan politis.

Lebih lanjut, Emile Benveniste menunjukkan temuan yang lebih positif dalam rangka melihat kompleksitas aspek etimologis dari eleutheria ini, akar diksi dari eleutheria ialah leudh yang memiliki arti bertumbuh dan berkembang, sehingga dalam hal ini, jika dilihat lebih dalam, “kebebasan” bisa juga dilihat sebagai suatu ide pertumbuhan yang dikembangkan dengan optimal. Secara esensial berdasarkan pengertian etimologi diatas yang menggambarkan “pergi ke mana pun yang kita anggap baik”, serta bertumbuh dan berkembang. Kita bisa mengambil pemaknaan bahwa keleluasaan manusia sebagai makhluk yang bebas hendaknya bermuara pada sesuatu yang “baik, sesuatu yang bijak yang dikembangkan dengan optimal”. Menurut Plato, mengoptimalkan kebebasan manusia yang bermuara pada kebijaksanaan berarti bentuk kebebasan ideal manusia sebagai makhluk yang memenuhi kodrat rasionalnya. Artinya, manusia telah diberikan kodrat oleh Tuhan berupa keleluasaan untuk mengoptimalkan segi kognitif dan rasionalnya, dalam rangka menjadi manusia bebas yang bermuara pada hal bijaksana.

Bagi Plato, manusia yang memiliki kehendak bebas (eleuthero) adalah manusia yang memiliki jiwadan rasio dikembangkan secara optimal. Manusia yang melibatkan aspek rasionalitas dalam dirinyalah yang diartikan sebagai manusia yang benar-benar bebas. Bagaimana dengan budak? tentu, jika dilihat secara politis budak telah terenggut dan dibatasi kebebasannya. Namun dari kacamata Plato, budak adalah manusia yang jiwa dan rasionya telah terlucuti kepentingan, sehingga sesungguhnya jiwa dan rasionya hanya “terblokir” sehingga memungkinkan perilakunya bersifat irasional, maksudnya keleluasaan untuk bebas hanya mengabdi pada harga diri dan kepentingan ekonomis. Budak hanya tidak memiliki keleluasaan untuk mengembangkan secara optimal kodratnya sebagai makhluk rasional, namun potensi pemenuhan kodratnya dengan optimal sebagai makhluk rasional itu masih ada.  Pada akhirnya, Plato mengatakan bahwa manusia bebas adalah manusia yang kodrat sebagai makhluk rasionalterkembangkan dengan Optimal.

Sebelum menuju kepada pemaknaan manusia bebas adalah manusia yang kodrat rasionalnya terkembangkan optimal, maka perlu memahami aspek paling inti dan terdalam dari diri manusia terlebih dahulu. Barangkali muncul sebuah pertanyaan baru, lantas apa sisi paling intim dan terdalam dari diri manusia? Plato menjawab bahwa itu adalah “jiwa”. Menurut Plato, jiwa adalah sebuah kompleksitas dari tiga entitas dalam diri manusia yang terus beradu dan tarik menarik. Tiga entitas tersebut digambarkan sebagai: epithumia (yang berada pada perut ke bawah), thumos (di dada) dan rasio (di kepala). Manusia kadang gagal dalam menyelaraskan tiga entitas ini yang mana merupakan proses perkembangan pengelolaan jiwa yang sempurna, manusia kadang terjebak pada ranah yang memberikan dominasi penuh terhadap pemenuhan epithumia (nafsu), dan thumos (pengkultusan diri/kebanggan diri). Padahal, puncak tertinggi dari pengelolaan jiwa menurut Plato adalah ketika manusia mampu secara optimal memposisikan entitas “rasio” dalam dirinya dan berhasil mendominasi unsur lainnya, manusia akan terkembangkan secara sempurna jika entitas “rasio” menguasai dirinya. Dengan demikian, tentu manusia dapat menjadi bebas dengan memenuhi kodratnya sebagai makhluk rasional.

Bagian yang terdalam sekaligus menggambarkan ciri khas manusia yang tidak dimiliki makhluk lain adalah “rasionya”. Tentu dalam hal ini, manusia bukanlah hewan dengan sifat nya yang irasional, bukan pula Tuhan yang memiliki sifat ke-Ilahiannya. Namun kodrat manusia adalah mengoptimalkan rasionya sehingga tidak menyerupai segi kebinatangan yang melulu memikirkan nafsu, seks dan beringas mencari makan. Dengan adanya “rasio” dalam jiwa manusia, tentu mampu untuk mendekatkan diri kepada hal yang sifatnya Ilahiah: hubungan transenden antara manusia dengan tuhan yang maha mendamaikan serta penuh akan kebaikan.

Penggambaran Plato mengenai 3 entitas pengembangan dan pemenuhan jiwa, merupakan eskalasi level perwujudan dari kebebasan itu sendiri. Pada fase epithumia, kebebasan berarti bebas memenuhi hasratnya seperti nafsu, makan, seks. Sementara pada fase thumos, kebebasan berarti mampu memenuhi hasratnya dalam menaikan harga diri, prestasi, heroisme, dan pengkultusan diri, mengais validasi dan lain-lain. Terakhir, pada fase rasio diartikan sebagai “kebebasan sejati” manakala manusia mampu mengedepankan aspek rasionalitasnya dalam menimbang dan menyelaraskan epithumia dan thumos, maka itu akan menghasilkan perilaku yang baik dan bijaksana. Sehingga manusia tidak terjebak dalam pemenuhan hasrat yang memiliki sifat kebinatangan dimana hanya stagnan pada pemenuhan hasrat seks, makan, nafsu serta tidak tertipu dengan pengkultusan diri yang senantiasa akan membuat kita haus akan harga diri, mengais validasi yang secara tidak sadar telah memperbudak sekaligus mengkerdilkan diri manusia. Jika manusia telah mampu mengembangkan kebebasan rasionalnya, maka dalam hal inilah ditemukan manusia-manusia yang penuh akan kecintaan terhadap kebijaksanaan atau yang sering disebut dengan kata Filsuf (philo:cinta - sophos:kebijaksanaan).

Ketika manusia menyadari apa yang sesungguhnya diinginkan oleh epithumia dan thumos melalui pembacaan rasio, dengan otomatis mampu mengarahkan manusia menjadi manusia bebas, manusia yang mampu mengembangkan hasratnya secara optimal melalui kodratnya sebagai makhluk rasional, yang tentunya bermuara kepada pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana.

Dari uraian diatas, mari sejenak kita merefleksikan diri sebagai manusia yang memiliki kebebasan sejati. Manusia adalah makhluk Tuhan yang telah diberikan kebebasan untuk berpikir dan berlaku ada:being exist (melakukan apapun) di tengah muka bumi ini. Namun apakah kebebasan yang kita lakukan telah menghasilkan kebaikan dan bermuara pada kebijaksanaan? Ekspresi kebebasan manusia setelah hidup berabad-abad dan melakukan evolusi dengan membangun dan mengembangkan apa yang dikehendakinya apakah telah menghadirkan kesejahteraan bagi manusia sepenuhnya, atau justru menghasilkan perbudakan baru bagi sesama manusia lainnya? kebebasan manusia dalam membangun industri, sistem kerja, dan politik, apakah sudah berjalan sesuai dengan kepentingan hajat hidup orang banyak? Jika iya, mungkin kita sudah hidup damai dan saling memuliakan manusia serta makhluk Tuhan lainnya, mungkin manusia di masa depan tidak akan takut lagi planetnya punah karena sampah dan isu lingkungan yang kian hari manusia bijak (homo sapiens) semakin memperparahnya.

Maka dari itu, penulis sangat sepakat dengan Yuval Noah Harari bahwa nasihat lama dari Socrates yang berbunyi “kenalilah dirimu” adalah nasihat yang sudah seharusnya tumbuh subur sebagai refleksi diri manusia modern yang menganggap dirinya bijak namun tidak terlalu bijak-bijak amat. Dengan mengenali diri kembali, mengarahkan kita kepada pembacaan bahwa menjadi manusia bebas berarti mengembangkan dan mengoptimalkan diri sebagai makhluk rasional yang menghasilkan manusia-manusia yang cinta kepada kebijaksanaan.


Referensi:

Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (2011).

Yuval Noah Harari, 21 Lessons for the 21th Century (2018).

Rangkuman Diskusi Freedom Institute, Pembicara A. Setyo Wibowo. Menelaah Kembali Filsafat Kebebasan. (2013).


 Arfi Hidayat, Lahir di Jerowaru, Lombok Timur, 11 November 2001. Sedang menempuh Kuliah Jurusan Filsafat di Jogjakarta. Hoby ngulik filsafat tipis-tipis, Islamic Studies, Pop Culture, dan Misticism Philosophy. Menginisiasi Komunitas Patjar Lentera Muda, komunitas intervensi pendidikan pedalaman berkelanjutan, bisa di kepoin di IG: @patjarlenteramuda. Baca tulisan Arfi lainya disini 


Posting Komentar untuk "Eleutheria in Plato: Menjadi Manusia Bebas Berarti Memenuhi Kodratnya sebagai Makhluk Rasional"