Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT BAHASA DAN ETIKA DALAM PEMAKNAAN KALAM IBNU MALIK (Tinjauan Hermeneutik)

 


PENDAHULUAN

Dalam kajian filsafat bahasa (filsafat analitik) kita selalu diarahkan pada tokoh-tokoh barat yang dinilai sebagai penggerak dan pengembang kajian keilmuan tersebut. Jarang sekali kita diarahkan kepada pemahaman para “filosof timur” padahal dari sisi substansi keilmuan timur sejatinya menyajikan pemikiran-pemikiran yang khas dan penuh nilai-nilai epistemologis (Zuhry, 2013: 7). Salah seorang tokoh bahasa dari timur adalah Ibnu Malik (w.1250 M) seorang linguis dari Andalusia (Sepanyol) yang dengan karyanya yang fenomenal yaitu Alfiyah telah melambungkan namanya sehingga dia terus hidup bahkan setelah ribuan tahun dari kematiannya. Ibnu Malik telah mewariskan harta yang tiada taranya yaitu warisan intelektual yang patut diabadikan oleh siapapun.

Dalam tulisan ini penulis memiliki keinginan untuk memunculkan model atau konsep yang digagas oleh Ibnu Malik secara eksplisit dalam pemaknaan dia tentang kalam. Yaitu suatu pemaknaan yang berimplikasi terhadap pembentukan prinsip-prinsip filosofis baik itu dalam kajian filsafat bahasa ataupun filsafat kehidupan secara umum (filsafat moral).

Sebelumnya, jika kita berbicara prinsip-prinsip dasar filsafat bahasa, kajian selalu diarahkan kepada tokoh-tokoh yang lumrah dikenal dalam buku-buku yang kita pelajari. Nama-nama seperti: Immanuel Kant (w.1804), Wittgenstein (w. 1951), Austin (w. 1960) dan lain sebagainya menjadi rujukan lumrah prinsip-prinsip filsafat bahasa. Tokoh-tokoh tersebut secara argumentatif memiliki kecendrungan saling melengkapi, misalnya teori bahasa yang dicetuskan oleh Wittgenstein merupakan penyempurnaan konsep filsafat bahasa yang digagas oleh Immanuel Kant (Mustansyir, 2007: 36).

Secara epistemologis, Kant sendiri merupakan filosof yang mencoba mengevaluasi pemikiran filsafat bahasa sebelumnya. Yakni proses rekonsiliasi antara empirisme dan rasionalisme. Itulah kemudian yang menyebabkan filsafat analitika bahasa secara diakronik mengalami dinamika yang cukup signifikan tergantung pada model filsafat yang tengah berkembang pada saat itu.

Untuk dimaklumi tulisan ini bukanlah dalam upaya memfalsifikasi teori-teori lalu tentang filsafat bahasa yang disebutkan di muka, tapi hanya ingin mengelaborasi suatu tinjauan hermeneutik atas kaidah gramatika Arab yang disusun oleh Ibnu Malik. Bukan maksud penulis untuk memberlakukan metode baru terhadap fenomena lama atau dalam bahasa Foucault sebagai model kesia-siaan inteketual karena merupakan tindakan ilmiah yang melupakan situasi metodelogis fenomena sebelumnya (Piliyang, 2012: 125). 

Jika kita melihat secara substansi pemikiran, model filsafat bahasa yang berkembang memang sangat runut dan dinamis, artinya model berangkat dari hal-hal materi (kata, kalimat, preposisi) sampai hal-hal immateri (makna). Dengan demikian proses berdirinya kajian filsafat analitik sangatlah panjang dan kompleks.

Kaitannya dengan hal tersebut, meilhat pemaknaan kalam pada bait ke delapan dari kitab Alfiah disana ada pemaknaan yang menurut penulis cukup kompleks dimana dalam kalimat tersebut mengandung implikasi makna yang holistik. Kalimat yang berbunyi: kalamuna lafzun mufidun kastaqim. Yang berarti:kalam kita adalah yang bisa disebutkan dan memiliki fungsi serta makna seperti kata istaqim (istiqomahlah). Sekilas konsep bahasa yang digagas Ibnu Malik nampak berupa penggabungan antara bentuk kongkrit bahasa dan bahasa dalam tuturan aktif.

Berangkat dari latar belakang tersebut tulisan ini akan diarahkan kepada pengkajian pemaknaan kalam Ibnu Malik yang memiliki implikasi terhadap pembentukan prinsip dasar filsafat bahasa serta filsafat hidup pada umumnya, maka dari itu pertanyaan yang bisa diajukan sebagai rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana pemaknaan kalam ibnu Malik serta implikasi teoritisnya terhadap berdirinya prinsip filsafat bahasa? Kedua, bagaimana konsep filsafat moral sebagai implikasi hermeneutik terhadap pemaknaan kalam Ibnu Malik?

TINJAUAN PUSTAKA

Kitab Alfiah karangan imam Ibnu Malik merupakan kitab fenomenal yang banyak disyarahkan ataupun dikritisi oleh para ahli nahwu ataupun linguis Arab (Ibnu Aqil, tanpa tahun: 5). Berdasarkan data yang diperoleh dari kitab Syarah Ibnu Aqil, (salah satu syarah-nya Alfiah) dikatakan bahwa sudah sangat banyak para ulama’ yang membuat kitab dalam upaya men-syarah ataupun mengkritisi karangan tersebut. Namun ada beberapa ulama besar yang patut disebutkan sebagai orang yang telah berjasa mensyarahkan kitab Alfiah. Yaitu: Jamaluddin Bin Yusuf Ibnu Hisyam, Muhammad Badruddin Bin Muhammad, Hasan Badruddin Bin Qosim, Abdurrahman Zainuddin, Abdurrahman Bin Ali Bin Solih, Abdullah Muhammad Syamsuddin, Abul Hasan Ali Nuruddin, Ibrahim Burhanuddin Bin Musa, Imam Assuyuthi, Muhammad Bin Qosim Al-Ghozi, Muhammad Bin Syamsuddin Bin Muhammad, dan Bahauddin Ibnu Aqil. (Ibnu Aqil, Ibid: 6-7)

Menurut Ibnu Aqil diantara kajian-kajian yang membahas tentang Alfiah-nya Ibnu Malik diskursus diarahkan kepada kajian-kajian substansi berupa pemaparan tentang materi-materi nahwu dan sharaf. Kemudian Ibnu Aqil sendiri dalam syarahnya menggunakan pendekatan gramatik yakni dengan menerapkan kajian i’robiah dalam mengeksplorasi posisi dan kedudukan setiap kata dalam bait-bait syair Alfiah.

Dari penelusuran di internet dan beberapa buku, penulis juga menemukan kajian-kajian yang berkaitan tentang kitab Alfiyah Ibnu Malik dalam konteks relasi sosial. Model kajian ini disebut Kajian Nahwu Sosial (Ummi Kulsum dalam situs: http://bdkjakarta.kemenag.go.id. 2/12/2015). Lebih jauh bait-bait syair dalam kitab Alfiyah juga menyimpan banyak nilai-nilai kependidikan, misalnya Ahmad Afid Ni’ama yang mengelaborasi tentang nilai-nilai Ahlak dalam kitab tersebut (Ni’ama, 2012: 10). Demikian pula dengan tulisan-tulisan lainnya yang jika dipetakan, orientasi kajian-kajian tersebut tersebar dalam tiga ranah kajian, yaitu kajian linguistik, sosial dan pendidikan.

Memang kajian-kajian yang bersifat interpretatif dari kitab tersebut (pemaknaan ke luar ranah linguistik) sering kali kita dengar, misalnya seperti dikatakan bahwa yang dimaksud kalamuna lafzun mufidun katstaqim pada salah satu bait Alfiah itu adalah “tata cara tuturan yang baik.” Yakni bagaimana seharusnya seseorang bertutur dan bertingkah berdasarkan nilai moral yang ada (TGH. Yusuf Makmun, 2009. Wawancara). Lebih dari itu Ahmad Dhofir Zuhry memandang pemaknaan kalam Ibnu Malik diinterpretasikan sebagai prangkat penting filsafat yakni, ismun sebagai ontologi, fi’lun sebagai epistemologi dan harfun sebagai aksiologi. (Zuhry, 2012: 7)

Sejatinya pendekatan filosofis dalam mengkaji gramatika Arab telah banyak dibicarakan yang mana di dalamnya diwarnai dengan pro dan kontra. Ulasan yang cukup luas dan informatif tentang bagaimana pengaruh filsafat dalam konseptualisasi gramatika Arab disusun oleh Zamzam Afandi yang dipublikasikan di jurnal Adabiyat. (Affandi, 2006: 10)

Dari sekian kajian tentang kitab Alfiah tersebut, argumentasi Dhofir Zuhry di atas menarik perhatian penulis dan mencoba mengkajinya lebih jauh. Namun demikian, tulisan ini berbeda dengan kajian itu, jika Zuhry dalam analisisnya melihat pernyataan kalam Ibnu Malik sebagai basis terminologi filsafat, maka penulis menariknya pada turunan filsafat yang lebih berbasis linguistik bahwa pemaknaan kalam Ibnu Malik memiliki prinsip-prinsip dasar filsafat bahasa dan etika, maka dari itu tulisan ini menitikberatkan pada kajian pemaknaan kalam secara filosofis (hermeneutik) dalam implikasinya terhadap munculnya konsep filsafat bahasa (filsafat bahasa Arab?) dan filsafat moral. 

KERANGKA KONSEPTUAL

Bahasa dan etika

Bahasa dalam konteks sosial sangat diikat dalam kode moral atau etika tertentu (Rachels, 2004: 3). Merupakan hal yang lumrah jika dalam aktivitas sehari-hari kita dikonstruksi oleh bahasa, seperti ketika akan berbicara dengan orang seumuran, dibawah dan yang lebih tua umurnya maka penutur akan menggunakan bahasa yang sesuai dengan kode moral yang berlaku pada konteks sosialnya. Dengan demikian penggunaan bahasa pada tataran aplikasi memiliki hubungan yang kompleks dengan moral dan etika. Etika sendiri secara otonom memiliki makna yang lebih tinggi, yakni suatu hal yang dimiliki oleh seseorang dalam upaya memfilter setiap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tata cara atau mekanisme sosial suatu komunitas. Etika menjadi hal yang penting ketika manusia menginginkan stabilitas dalam intraksi sosial mereka. 

Dalam kajian filsafat bahasa juga tidak lepas dari intervensi moral. Konsep-konsep yang ditelurkan oleh beberapa ahli bahasa juga sangat erat kaitannya dengan model etika atau moral yang melatarinya. Seperti Immanuel Kant misalnya dalam konsep filsafat bahasanya dia memiliki tawaran etik, bahwa bahasa harus berorientasi pada moralitas yang berlaku. Namun demikian Kant dinilai kurang memuaskan kaum rasionalis yang tidak mau menerima begitu saja konsep yang abstrak (metafisik).

Tokoh filsafat bahasa yang juga banyak melakukan intervensi moral dalam konsepnya adalah Austin yang dikenal dengan teori tindakan bahasa-nya. Konsep filsafat bahasa Austin yang cendrung memandang perspektif etika adalah tindakan konstantif-nya (Mustansyir, 2007: 37). Bagi Austin tuturan seseorang tidak akan bermakna apa-apa ketika dia tidak mampu mengaplikasikan apa yang dituturkan. Misalnya ketika seseorang berjanji untuk datang ke suatu acara pesta perkawinan, maka tuturan orang tersebut tidak akan berarti jika orang yang bersangkutan ternyata tidak menghadari acara yang dimaksud. Dengan kata lain Austin menginternalisasi etika dalam suatu tuturan.

Etika sendiri merupakan pencarian kebenaran (dalam kontek kelimuan). Dalam tataran aplikasi etika adalah cara seseorang untuk berbuat baik (Poedjawiyatna, 1990: 6-7). Namun demikian ukuran baik dalam pandangan manusia pun juga berbeda-beda. Misalnya ada orang yang memandang cupika-cupiki adalah tidak boleh (tidak baik) tapi sebagian manusia (Barat) mengganggap tradisi tersebut sebagai salah satu cara memberikan penghormatan. Untuk itu James Rachels memandang bahwa kode etika (moral) di setiap wilayah atau daerah itu berbeda-beda (Rachels, 2004: 27).

Dalam tulisan ini model yang diinginkan adalah kajian etika dan bahasa yaitu model atau konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Malik secara eksplisit. Artinya pemaknaan kalam Ibnu Malik diinterpretasikan dalam konteks kajian yang ingin diwujudkan dalam tulisan ini. Menurut penulis Ibnu Malik dalam pemaknaannya tentang Kalam memiliki implikasi teoretis dan etik yang kemudian dirumuskan dalam konsep filsafat bahasa dan moral (terlepas dari pro dan kontra tentang pengaruh filsafat terhadap konseptualisasi Ilmu Nahwu). Dalam upaya menstandardisasi tulisan ini dalam koridor ilmiah, maka dibutuhkan pisau analisis yang sesuai dan memenuhi standar ilmiah itu sendiri. Pada prinsipnya kajian dalam tulisan ini menggunakan kerangka teoritis pencarian akar-akar filsafat bahasa dalam kitab alfiah khususnya dalam pemaknaan kalam-nya serta implikasi etiknya berupa prinsip-prinsip dalam filsafat moral. 

Kalam dalam pandangan Ibnu Malik

Untuk kepentingan analisis, penulis sebutkan bahwa objek material tulisan ini adalah kalimat yang digunakan Ibnu Malik dalam memaknakan apa itu kalam, yakni pada bait ke delapan dalam kiab Alfiah.

كلامنا لفظ مفيد كاستقم * واسم وفعل ثم حرف الكلم

Satu bait syair ini merupakan pemaknaan kalam Ibnu Malik yang jika dilihat substansinya merupakan perpaduan yang menyimpan banyak interpretasi. Sebagaimana diketahui telah banyak sekali buku yang mengulas kitab tersebut, hal itu menunjukkan bahwa kitab tersebut memiliki banyak ruang kosong untuk diinterpretasi. Dalam kajian sastra, mengisi ruang kosong merupakan tugas para pembaca ataupun kritikus (Endarswara, 2011: 5)

Pemaknaan kalam ini kemudian akan penulis analisis menggunakan metode hermeneutik dengan mempertimbangan berbagai aspek untuk menuju kesimpulan yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu pemaknaan Kalam tersebut penulis posisikan sebagai sebuah teks sastra yang memungkinkan dielaborasi dengan berbagai pendekatan. Selain itu digunakan beberapa syarah kitab tersebut, khususnya dalam penjelasan tentang Kalam untuk memperkaya analisis. Kitab-kitab yang dimaksud di sini seperti: Syarah al-Asymuni, Syarah Ibnu Aqil, Syarah Ibnu HisyamAudahul Masalik Ila Alfiah Ibn Malik dan berbagai buku-buku lain yang mengulasnya.

 

TEORI DAN METODE ANALISIS

Metode analisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah model analisis dekriptif interpretatif. Model analisis ini, sebagaimana yang dikatan Kutha Ratna merupakan tehnik analisis yang menekankan pada proses penafsiran suatu teks secara deksriptif analitis. Hal yang ingin dituju dari model analisis seperti ini adalah pemaknaan umum dari objek yang dikaji. Kaitannya dengan hal ini penulis menggunakan pendekatan hermeneutik sebagai pisau analisis.

Pendekatan hermeneutik pada dasarnya digunakan untuk pengkajian kitab suci namun seiring waktu, model kajian ini telah banyak digunakan secara umum, baik itu sastra ataupun lainnya (Parmer, 2005: 10). Dari sekian banyak teori hermeneutika yang berkembang, setiap teori memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara tokoh-tokoh hermeneutika yang ada, penulis dalam kajian ini menggunakan model hermeneutika-nya Paul Recour. Dalam pandangan Ricour, hermeneutika merupakan kegiatan penafsiran. Menurutnya kehidupan manusia adalah melakukan penafsiran (Sumaryono, 1999:111)

Konsep Hermeneutika yang paling mendasar dari Ricour adalah bahwa kata adalah simbol (Geanellos, 2000: 112), dengan arti bahwa setiap kata memiliki interpretasi sendiri tergantung pada penafsir serta faktor-faktor yang ada di belakang para penafsir teks. Kaitannya dengan hal ini model pemaknaan Kalam Ibnu Malik di samping sebagai susunan kata syiir juga sebagai simbol-simbol yang menjaring banyak makna.

Menurut Roland Barthes tanda memiliki dua makna yakni makan denotatif dan konotatif (Sobur, 2010: 30). Model makna denotatif adalah makna tingkat pertama dan konotatif adalah makna tingkat kedua. Artinya ada makna dibalik makna. Kajian semacam ini sangat relevan dalam kajian-kajian puisi (syair). Reefatre (Pradopo, 2010: 125) mengatakan bahwa dalam menginterpretasi puisi (sastra) ada istilah pembacaan Heuristik dan Hermeneutik.

Elaborasi simbol dalam pemaknaan kalam Ibnu Malik kemudian menjadi bahan intepretasi untuk mengidentifikasi model filsafat bahasa dan etika sebagaimana rumusan masalah dalam tulisan ini. Sejalan dengan konsepnya bahwa penafsiran itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari manusia ada beberapa langkah penafsiran yang ditawarkan oleh Ricour (Sumaryono, 1999): Pertama, memahami simbol-simbol. Kedua pemberian makna oleh simbol (denotatif) dan yang ketiga adalah berpikir dengan simbol-simbol yang ada.

Dengan argumentasi bahwa kata adalah simbol maka kaitannya dengan objek dalam penelitian ini, kata-kata tersebut dikaji secara Semantik kemudian dilanjutkan dengan interpretasi secara general (pendekatan filsafat bahasa). Berdasarkan Sumaryono (1999) pola hermeneutika Ricour sama seperti pola pemahaman bahasa yakni melalui tiga langkah: semantik, refleksif dan eksistensial. Pada prinsipnya Ricour (Suazo, tanpa tahun: 1) melihat bahwa suatu interpretasi ada pada otoritas penafsir (self-understanding) dengan tercakup di dalamnya horizon cakrawala pemahaman (Geanellos, 2000: 113). Maksudnya seorang penafsir boleh menginterpretasikan sesuatu dengan merujuk pada argumentasi-argumentsi yang memiliki kesamaan dengan pengarang (author) dan mengkontekstualisasikannya dengan kebutuhan pada saat dia menginterpretasi. Dengan demikian teks-teks masa lalu bisa ditafsirkan berdasarkan pada konteks kekinian guna meresolusi suatu persoalan.

Kaitannya dengan tehnik analisis, dalam tulisan ini kerangka hermeneutika Ricour digunakan sebagai kerangka umum yang berfungsi untuk memetakan arah analisis. Yakni dengan mengidentifikasi simbol (kata-kata dan kalimat) kemudian melakukan interpretasi terhadap simbol tersebut. Adapun untuk sistematisasi langkah analisis pada rumusan masalah pertama digunakan teori-teori filsafat bahasa dan pada rumusan masalah kedua digunakan teori-teori etika yang mana teori-teori tersebut diorientasikan dalam kerangka hermeneutika. 

PEMBAHASAN

Prinsip-prinsip filsafat bahasa

Imam Ibnu Malik mengatakan tentang Kalam pada bait ke delapan dalam kitab Alfiahbahwa kalam itu adalah “lafaz yang bisa dipahami seperti (kata) istaqim”.Dalam sudut pandang Semantik, susunan kata di atas tidak utuh secara makna karena memicu keganjalan pemahaman, namun disini kita bisa melihat susunan kata tersebut bukan hanya sebatas kata-kata tetapi sebagai simbol. Untuk mengidentifikasi prinsip filsafat bahasa yang ada dalam kalimat tersebut kita bisa mengkorelasikannya dengan model filsafat bahasa yang tengah berkembang saat ini. Sebagaimana konsep penafsiran Ricour bahwa hasil interpretasi bisa disandarkan pada berbagai pendapat atau dalam terminologi Gadamer “mempertemukan berbagai cakrawala.”

Kalamuna sebagaimana dijelaskan oleh ‘Asymuni (2008), ditunjukkan kepada para ahli nahwu jadi lengkapnya kalimat tersebut berbunyi: “kalamuna ayyuha an-Nuhat.” Artinya dhomir nun kembali kepada mutakallim dan para Nuhat. Demikian pula pada kalimat ismun wa fi’lun tsumma harfunil kalim. Penggunaan tsumma (bukan wau) ditunjukkan kepada karakter harfun yang berseberangan dengan isim dan fi’il (Ibnu Hisyam, 2000: 15) Dari penjelasan satu baris dari kitab Alfiah tersebut, ada dua hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh yang di dalamnya terdapat prinsip filsafat bahasa yang penulis maksudkan disini. Pertama pada lafaz istaqim, yakni dari sisi Paradigmatik, kenapa penulis menggunakan kata ini? yaitu kata yang berbentuk fi’lu amrin, atau kata perintah. Bukan kata benda atau sifat. Kedua, pada kata tsumma harfun kenapa tidak waharfun?

Terlepas dari penjelasan Ibnu Hisyam tentang pernyataan tersebut, jika dalam kontek memposisikan kalimat tersebut sebagai simbol-simbol ada implikasi makna lain yang mungkin ingin ditunjukkan oleh pengarang. Tapi sebelum kita mengelaborasi lebih jauh tentang implikasi simbol-simbol (kata) tersebut, kita selesaikan dulu model prinsip filsafat bahasa dalam pandangan Ibnu Malik.

Dalam kajian filsafat bahasa pada umumnya, persoalan yang dimunculkan seputar pemaknaan kalimat dan hakekat bahasa. Jika dipetakan, pemaknaan bahasa secara filosofis (sejauh yang dijangkau sejarah umum) dimulai dari Socrates, filosof asal Yunani yang terkenal dengan konsep dialektik kritis. Konsep yang dijadikan jurus oleh Socrates melawan kaum Sofis pada waktu itu (Hatta, 1998: 14), merupakan benih lahirnya konsep filsafat bahasa. Artinya makna bahasa diperoleh setelah diadakan uji interaktif antara para penutur dengan mengadu argumentasi yang bertentangan. Setelah Socrates, pemikiran filsafat analitik dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Aristoteles, tokoh ini dikenal sebagai peletak dasar istilah-istilah untuk membedakan suatu tuturan yaitu, kata dan kalimat. Rangkaian keduanyalah yang disebut oleh Aristoteles sebagai bahasa (Mustansyir, 2007: 37). Artinya suatu bahasa terdiri dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang tersusun.

Setelah itu tokoh filsafat bahasa selanjutnya adalah Immanuel Kant yang dikenal dengan konsep etika-nya. Bagi Kant bahasa harus mengandung etika. Darinyalah bisa dinilai suatu tuturan baik atau tidak. Konsep ini kemudian diteruskan oleh Edward Moore (w.1958) yang menilai suatu bahasa berdasarkan pada etika. Basis bahasa yang ditawarkan oleh Moore adalah logika. Artinya suatu tuturan harus sesuai dan dipahami oleh akal sehat. Disini sudah mulai dimasuki oleh paham rasionalisme (dalam kajian filsafat barat). Secara epistemologis pemikiran Kant maupun Moore memiliki kecendrungan untuk menggabungkan model filsafat rasionalisme dan empirisme.

Beberapa tahun selanjutnya filsafat bahasa mengalami kritik lebih jauh lagi yang dilakukan oleh Witgenstein yang terkenal dengan teori atomisme logis-nya. Bagi Witgenstein (1986) pemaknaan bahasa paling dasar adalah pemaknaan yang bisa diakomodasi oleh logika. Artinya kata bukanlah satuan terkecil bahasa namun demikian satuan terkecil itu ada pada ungkapan paling dasar yang bisa dimaknai oleh akal. Misalnya seseorang yang mengatakan “berdiri”. Kata tersebut (berdiri) tidaklah memiliki makna jika tidak ada penjelasan tentang berdiri itu, seperti dengan menambahkan kata Irpan (nama orang) atau nama apapun untuk memberikan keterangan makna.

Jika melihat konsep-konsep di atas, pemaknaan kalam Ibnu Malik mengandung prinsip dasar filsafat bahasa yang jika dipetakan sejajar dengan konsep filsafat bahasa modern yakni sejak Wittgenstein mencetuskan konsep atomisme logis-nya. Kenapa saya mengatakan bahwa konsep kalam-nya Ibnu Malik seperti substansi dalam konsep atomisme logis? Jika kita melihat secara substantif dasar dari teori Wittgenstein adalah pemaknaan paling dasar dari suatu bahasa bukan pada kata tetapi pada unsur logis yang ada di dalamnya. Artinya setiap kata tidak bisa mengandung unsur logis, sehingga memerlukan kata yang lain untuk membangun suatu premis yang logis.

Dalam bait pemaknaan kalam ibnu Malik, kita melihat bahwa contoh yang disebutkan oleh Ibnu Malik adalah bentuk kata kerja (istaqim). Kata kerja ini dalam kajian linguistik Arab merupakan kalam atau pernyataan yang bisa langsung dipahami karena di dalamnya terdapat dhomir mustatir (kata ganti tersembunyi) yang secara sistematis melengkapi makna (Al-Gholayaini, 2008: 27)

Dalam relasi paradigmatik, pemaknaan kalam ini memiliki prinsip-prinsip dasar filsafat bahasa. Sebagaimana disinggung di muka, model prinsip filsafat bahasa yang dikembangkan dewasa ini merujuk kepada beberapa hakikat bahasa yaitu pemaknaan logis. Kaitannya dengan hal itu konsep kalam-nya ibnu Malik tercakup dalam prinsip-prinsip dasar filsafat bahasa. Kata lafzun misalnya yang berarti dituturkan merupakan salah satu bentuk bahasa dari dua komponen penting bahasa yakni dituturkan dan memiliki makna (Chaer, 2009: 285) selain lafzun (dituturkan) menurut Ibnu Malik sebuah kalam harus mufid, yakni dipahami. Dengan demikian tentu saja konsep kalam Ibnu Malik telah memenuhi dua syarat penting pemaknaan bahasa.

Apa yang dikonsepsikan oleh Ibnu Malik jika kita korelasikan dengan pemaknaan bahasa oleh para tokoh Filsafat bahasa (refleksif konfirmatif) maka sejatinya Ibnu Malik telah melampui seluruh model konsep filsafat bahasa itu. Moore, Kant hingga sampai pada Wittgenstein Bahkan sampai konsep berbahasa seperti yang dikonsepsikan oleh Austin misalnya tentang tindakan bahasa juga telah tercakup maknanya dalam pemaknaan Kalam Ibnu Malik. Seperti dikatan bahwa contoh dari Kalam itu adalah kata istaqim. Berdasarkan penjelasan al-Asymuni (2008: Maktabah Syamilah) kata istaqim bisa bermakna sebagai mitsal (contoh) dari kalam itu, juga bisa bermakna bagian (unsur) substantif dari kalam.

Berdasarkan keterangan Asymuni, bisa diinterpretasikan bahwa istaqim ‘konsistenlah’ sebagai bagian dari teks pemaknaan kalam Ibnu Malik (bukan sebatas contoh kata). Kaitannya dengan hal itu, kembali kepada pemaknaan bahasa Austin, di dalam pernyataan ini terkandung tindakan bahasa. Artinya seorang penutur bahasa yang baik harus konsisten (istaqim) dengan apa yang dikatakan sehingga tidak menciderai tuturan yang sudah dikeluarkan. Austin melihat bahwa suatu pernyataan yang tidak diikuti oleh keselarasan tindakan meruapakan tuturan yang sia-sia (Void) (Mustansyir, 2007: 131)

Dapat disimpulkan bahwa model filsafat bahasa yang tersirat pada konsep pemaknaan kalam Ibnu malik adalah suatu tuturan haruslah memiliki unsur materi berupa wujud kata atau kalimat dan unsur immateri berupa pemaknaan logis di dalamnya. Selain itu suatu tuturan harus disertai dengan etika tindakan seperti misalnya konsistensi. Dengan demikian prinsip filsafat bahasa yang dieksplisitkan oleh Ibnu Malik mencakup ide-ide filosofis seperti yang digagas oleh Aristoteles, Wittgenstein dan Austin. Artinya dalam pemaknaan Kalam Ibnu Malik tergabung teori-teori tersebut.           

Relasi etika

Sebagaimana dalam pemaknaan etika pada umumnya, sejatinya belum ada ukuran untuk sebuah etika. Para ilmuan sosial telah menghabiskan berabad-abad untuk mengkaji yang namaya etika. Namun demikian kita bisa mengatakan bahwa dasar dari prinsip filsafat etika ada pada tindakan. Yaitu sebuah tindakan yang diukur oleh orang-orang di sekeliling subjek suatu tindakan (Poedjawiyatna, 1990: 24). Kaitannya dengan hal itu sebagai kelanjutan dari kerangka hermeneutika Recour yakni pada tahapan interpretasi makna simbol dapat dilihat beberapa model filsafat etika dalam pemaknaan kalam Ibnu Malik.

Dalam Syarah Ibnu Aqil, telah dibedakan model kalam, yaitu kalim, kalimatun dan kalam itu sendiri. kalim ditunjukkan pada kalimat yang belum sempurna secara makna (ghoiru mufid) seperti ketika seseorang mengatakan in qoma zaidun. (jika zaid datang). Contoh ini dianggap bukan kalam tetapi kalim karena masih mengandung pertanyaan selanjutnya. Adapun Kalimatun merupakan bentuk satuan kata (Ibnu Aqil, tanpat tahun: 5). Adapun kalam adalah bentuk tuturan yang paling sempurna dimana seorang yang mendengar memahami tuturan tersebut, sehingga tidak perlu bertanya kembali perihal tuturan. Dengan demikian kalam adalah tuturan yang paling kongkrit dan di dalamnya terkandung kompleksitas kata-kata dan tindakan. Telah disimpulkan di muka bahwa model kalam ibnu Malik memiliki asas filsafat bahasa yang generatif dimana pengarang secara eksplisit memaparkan konsep tersebut.

Untuk menuju suatu tuturan yang sempurna, seorang penutur harus memiliki kesadaran tutur (lafzun) sehingga bisa dipahami oleh penangkap tuturan (mufid). Dalam konteks etik, sebagai kelanjutan dari pemaknaan kata istaqim, sebuah tuturan menjadi sempurna ketika memiliki karakter logis, bisa dipahami dan konsisten dengan apa yang dikatakan. Dengan demikian pemaknaan kalam ini mengajarkan tentang etika tutur dan tindakan.    

Basis etika yang tersirat dari pemaknaan kalam di atas adalah model kesadaran etik yaitu bagaimana seseorang sebelum bertindak memiliki kesadaran etika yang secara naluri telah dimiliki oleh setiap manusia. Kesadaran etik (religius) ini sebagaimana yang dikatakan oleh Kant akan berimplikasi terhadap bagusnya suatu tindakan. Apa yang disebut sebagai deontologi dalam filsafat etika Kant merupakan pemaknaan etika yang mengatakan bahwa baiknya suatu tindakan dipengaruhi oleh niat baik yang ada di dalam jiwa manusia (Rachels, 2004).

Dilihat dari sisi tindakan, isim, fi’il dan huruf  sebagai bagian dari kalam merupakan representasi dari model tindakan manusia. Bahwa ada manusia yang bertindak seperti karakter Ism yaitu tidak mau dipengaruhi oleh waktu dan tempat (lam yaqtarin bizamani wad’a). Dan ada pula manusia yang bertindak dengan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya seperti fi’il (yaqtarin bizamanin wad’a) serta ada pula yang hidupnya hanya bergantung pada orang lain seperti harfun (ma’na bil akhor).

Dalam kajian filsafat moral, ada empat model karakter manusia dalam bertindak (Rachels, 2004) yaitu: pertama, egoisme psikologis, yang mengatakan bahwa manusia bertindak dalam rangka memenuhi keinginan-keinginan pribadinya saja. Kedua, utilitarianisme yakni paham yang mengatakan bahwa tindakan manusia harus dalam rangka membahagiakan orang lain. Ketiga, adalah kontrak sosial yang mengatakan bahwa tindakan manusia harus berdasarkan pada hukum sosial di lingkungannya. Dan yang terakhir adalah aliran Immanuel Kant yang memandang bahwa dalam bertindak manusia harus memiliki etika dan etika itu sendiri telah ada dalam diri manusia yang ia sebut sebagai “kehendak berbuat baik.”

Jika dikorelasikan beberapa model tindakan di atas, pemaknaan kalam Ibnu Malik (kaedah gramatika Arab secara umum) menunjuk kepada berbagai pola tindakan manusia itu seperti karakter cukup dengan dirinya sendiri (isim), membutuhkan orang lain (fiil) dan yang selalu tergantung kepada orang lain (harfun). Isim bisa dikorelasikan ke dalam bentuk egoisme psikologis dan fi’il bisa dikorelasikan dengan kontrak sosial sementara harfun sebagai utilitarianis yang segala tindakannya memerlukan eksistensi orang lain. Karena kebutuhan yang berlebihan terhadap kebermanfaatan atas orang lain maka eksistensi orang seperti ini sangat tergantung pada eksistensi orang lain. Dalam kajian filsafat eksistensialisme, Jean Paul Sartre menganalogikan orang lain sebagai “neraka” (Nugroho, 2013: 7). Hal ini dalam pandangan Sartre karena sering kali orang lain membatasi gerak seseorang. Berpijak dari hal ini maka dapat dikatakan bahwa karakter Harfseperti kaum utilitarianis yang sangat membutuhkan eksistensi orang lain untuk menunjukkan fungsi diri.

Penekanan filsafat tindakan yang tersirat dalam pemaknaan kalam Ibnu Malik adalah pada penyebutan bagian-bagian kalam (Aqsamul kalam). Pengarang mengatakan: wasmun wafi’lun tsumma harfunil kalim. Kata isim dan fiil dihubungkan dengan huruf wau dan harfun dihubungkan dengan tsumma. Berdasarkan penejelasan Ibnu Aqil, diksi ini dipilih karena harfun memiliki karakter yang jauh berbeda dengan isim dan fiil. Artinya, isim merupakan representasi diri seseorang yang memiliki karakter dan kemandirian dan fiil merupakan bentuk relasi sosial yang harus dimiliki oleh seseorang. Penggunaan huruf athof yang berbeda (tsumma) menunjukkan untuk kita menghindari menjadi manusia berkarakter seperti harfun yakni yang eksistensi dirinya hanya bergantung (hidup) pada orang lain. Implikasi hermeneutis yang kemudian ingin penulis tampilkan sebagai model etika tindakan sebagai refleksi kajian ini adalah bahwa hendaklah memilih menjadi manusia yang mandiri dan peduli dan tidak membebankan orang lain. 

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model prinsip filsafat bahasa yang tersirat dari pemaknaan kalam Ibnu Malik adalah suatu tuturan haruslah memiliki unsur materi berupa wujud kata atau kalimat dan unsur immateri berupa pemaknaan logis di dalamnya. Selain itu suatu tuturan harus disertai dengan etika tindakan seperti misalnya konsistensi. Adapun bentuk filsafat moral atau etika yang terkuak dalam pemaknaan kalam Ibnu Malik adalah manusia yang baik adalah manusia yang memiliki prinsip kemandirian (ism) dan peduli kepada orang lain (fi’lun) serta tidak layak seseorang menjadi orang yang eksistensinya hanya bergantung kepada orang lain (harfun). Singkatnya etika itu diukur oleh konsistensi seseorang antara ucapan dan tindakan serta pada kematangan prinsip diri dan kepedulian sosial.


 Muh. War'i  adalah Pembina Komunitas Rantau Berkarya. Baca tulisan War'i lainya disini 


DAFTAR PUSTAKA

Al-Anshori, Ibnu Hisyam. Audhohul Masalik Ila Alfiati Ibn Malik. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah. 2012

Aqil, Ibnu. Syarh Ibnu Aqil. Surabaya: Alhidayah. Tanpa tahun.

Al-Gholayaini, Musthafa. Jami’uddurus al-Lughotil Arobiyah. Birut: Darul Bayan. 2008.

Al-Asymuni. Syarhul Asymuni ala Alfiayati Ibn Malik. Maktabah Syamilah

Abdillah, Zamzam Afandi. Bias Teologis Dalam Linguistik Arab dalam jurnal Adabiyyat Vol. 7. No. I. Yogyakarta: Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 2012

Ganellous, Rene. Exploring Ricoeur’s Hermeneutic Theory of Interpretation as a Method of Analysing Research Texts. Nepean: School of Health and Nursing UWS. 2000.

Hatta, Muhammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press. 2006

Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa; Mengungkap Hakekat Bahasa, Makna Dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.

Kulsum, Robi’ah Ummi. Kajian Nahwu Sosial. Dalam situs: http://bdkjakarta.kemenag.go.id. Akses tanggal 2 desember 2015

Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan Dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Nugroho, Wahyu Budi. Orang Lain Adalah Neraka; Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Satre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013

Parmer, Richard E. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.

Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika; Kode, Gaya Dan Matinya Makna. Bandung: Matahari, 2012.

Poedjawiyatna. Etika; Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta. 1990

Rachels, James. Filsafat Moral. Terj. A Sudiarja. Yogyakarta: Kanisius. 2004

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.

Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1999

Sumarna, Ellan. Filsafat Etika Kant. Makalah.

Suazo, Ruby S. Ricoeur’s Hermeneutic as Appropriation: A Way ofUnderstanding OneSelf In Front of the Text. San carlos: Department of Philosophy University of San Carlos. Tanpa tahun.

Wittgenstein, Ludwig. Philosophical Investigation. Terj. Anscombe. Basil: Basil Balckwell. 1986.

Zuhry, Ach. Dhofir. FilsafatTimur; Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna. Malang: Madani. 2013

Zuhry, Ach. Dhofir. As-Sirah Al-Falsafiyyah. Jilid II. Malang: STF Al-Farabi Press. 2012



Posting Komentar untuk "PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT BAHASA DAN ETIKA DALAM PEMAKNAAN KALAM IBNU MALIK (Tinjauan Hermeneutik)"