Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

FILOSOFI ICA: PACARKU ALAY

 


Oleh: Baiq Nurul Nahdiat

Keponakanku yang baru gede, gak gede-gede amet sih. Ica namanya. Sekarang dia sekolah di salah satu madrasah yang katanya berbasis salaf modern gitu. Ica sekarang sudah kelas 2 MTS, bisa dibilang dia lumayan pintar, kemarin juara tiga, dari tiga murid di kelasnya, eh ngga becanda. Ica yang sekarang memasuki masa-masa transisi menuju remaja tentunya mengalami banyak kegalauan. Selaku hamba Allah yang baper Ica juga tidak terlepas dari masalah cinta-cintaan. Katanya, dia sedang uring-uringan dengan tingkah pacar barunya. Ica dulu selalu berekspektasi mendapatkan sebuah kebahagiaan dari hubungan pacaran, kini dikecewakan. Apakah pacarnya mendua? Bukan. Apakah pacarnya berkelamin ganda eh berkepribadian ganda? Juga bukan.

Ica merasa hubungan dengan pacarnya tak berjalan baik. Setelah beberapa pekan berjalan, pacarnya jadi moody; yang dulu nyenengin sekarang nyebelin banget, tadinya perhatian sekarang jadi suka ngatur- ngatur dan dia alay. Antara aku dengannya sudah berbeda jalan, kata Ica. Ica suka membaca, pacarnya suka mainan Tiktok, Ica ingin dikirimi puisi-puisi romantis, malah dikirim pesan-pesan tidak penting, senada; “kamu udah makan belum? Jangan lupa makan, nanti sakit.” Yalord, makan kan kebutuhan jasmani, ya ngga mungkin lupa lah. Seharusnya ngingetin minum juga dong!

Sebenarnya, permasalahan cinta-cintaan yang dialami Ica bisa diurai dengan menggunakan sudut pandang dari beberapa teori. Tenang-tenang, jangan panik dulu, aku akan mencoba untuk menggunakan penjelasan yang lebih mudah dipahami. Jika nanti ditengah jalan kalian pusing maka perbanyaklah istighfar dan amalan-amalan sunnah.

Pertama, cinta adalah reaksi hormonal. Apa buktinya? Sigmund Freud, itu loh Bapak Psikologi. Menurut Freud, sebagaimana rasa lapar, cinta merupakan kebutuhan jasmani yang memberikan rangsangan bagi aktivitas psikis, ini disebut sebagai Triebe (naluri-naluri). Lalu, apakah yang dicari naluri-naluri itu? Ya, pemuasan. Artinya, naluri-naluri itu mencari situasi yang akan menciptanya kebutuhan-kebutuhan jasmani terpenuhi. Jika naluri itu adalah jatuh cinta, maka kita akan membutuhkan pemuasan; dengan cara pacaran, dekat dengan lawan jenis yang disuka, atau hanya sekedar memandang dia yang telah bersama orang lain dari kejauhan, eh ini nyesek.

Sederhananya, perasaan cinta yang kita rasakan sehingga menimbulkan rasa bahagia ketika berada di dekat lawan jenis, merupakan reaksi dari beberapa senyawa kimia dalam tubuh. Senyawa-senyawa inilah yang disebut sebagai hormon, diantaranya; adrenalin, dopamine, serotonin, oksitosin dan vasopressin. Hormon-hormon inilah yang paling berperan ketika seseorang dalam keadaan jatuh cinta. Senyawa kimia yang terjadi dari reaksi hormon tersebut berjalan ke bagian-bagian otak lalu mengatur emosi dan memori kita. Kalau dalam istilah Freud hal itu disebut sebagai libido.

Jadi reaksi hormon tersebut yang mengatur mood seseorang, ketika reaksinya meningkat maka kita akan merasa senang, begitu juga sebaliknya ketika reaksinya menurun perasaan berubah menjadi galau. Reaksi kimia yang dialami manusia bersifat temporal, berubah-ubah, tergantung rangsangan yang diterima tubuh. Jadi masihkah kamu bertanya mengapa cinta hanya tumbuh di hatimu tapi tidak di hatinya?

Seirama dengan Freud, Soesilo Toer juga memaparkan bahasa yang lebih sederhana. cinta adalah bahasa sederhana yang memperhalus jalan seseorang untuk menuju muara sex, eeeehh bukan, maksud saya hormonal.

Kedua, pacaran adalah konstruksi sosial. Baca ini baik-baik, dan semoga kalian cepat-cepat sadar. Penggagas teori ini adalah Peter L Belger dan Thomas Luckman. Kalau ga tau sih kebangetan, nama mereka dulu sering keluar loh di pelajaran PPKN. Apa itu konstruksi sosial? Konstruksi sosial adalah bentukan pemahaman yang dibangun oleh masyarakat dan disepakati sebagai kebenaran umum alias kenyataan/fakta.

Mengapa pacaran adalah konstruk sosial? Begini, dalam masyarakat kita, pacaran itu dianggap sebagai cara untuk memenuhi hasrat mencintai. Sehingga alam bawah sadar kita menyetujui hal tersebut, kalo gak pacaran nanti dianggap tidak gaul, bahkan tak pelak sematan homo buat para cowo yang tidak memiliki pacar juga ada, apalagi status jomblo yang bisa mengakibatkan seseorang dikucilkan dari pergaulan. Jadi ya, dengan adanya konstruk pemahan seperti itu akan membuat remaja dan remaji berbondong-bondong untuk melakukan pacaran, semata-mata agar keberadaan mereka dalam masyarakat diakui.

Oke kita lanjutkan lagi, sebelum kalian marah-marah dengan analisis ini.

Ketiga, ini yang paling penting, mencintai berbeda dengan alienasi. Duh, istilahnya tambah ribet. Alienasi ini adalah istilah yang disematkan Karl Marx sebagai bentuk pengasingan dari kerja dan sifat dasar manusia. Sebab, kerja yang menjadi sifat dasar kita sebagaai manusia telah dialihkan kapitalisme sebagai sebuah aktivitas hanya semata-mata untuk mendapatkan uang/gaji, tak lebih dari itu. kita tidak lagi melihat kerja sebagai bentuk ekspresi dari tujuan kita.

Kabar buruk untuk kita semua, kulit manggis ternyata tidak ada ektraknya eh bukan. Kabar buruknya, tidak hanya kerja saja yang telah dialienasi/diasingkan oleh kapitalisme tapi juga dalam sistem mencintai (baca: pacaran). Artinya kita secara mentah-mentah telah diasingkan dari hakikat mencintai itu sendiri. Mencintai tidak lagi kita pandang karena itu sebagai sifat dasar kita sebagai manusia melainkan hanya untuk kepentingan semata. Kepentingan seperti apa? Kepentingan yang akan kita dapatkan dari kekasih tercinta, seperti: rasa nyaman, rasa senang dan enaa-enaa.

Hasilnya manusia hanya merasa aktif di dalam fungsi-fungsi hewaniahnya –makan, minum, punya keturunan –sementara di dalam proses kerjanya, mereka tidak lagi merasa diri mereka menjadi apa-apa selain menjadi binatang. Tentu saja makan, minum, punya keturunan, dan sebagainya juga merupakan fungsi-fungsi dasar yang manusiawi, akan tetapi terpisah dari jangkauan seluruh aktivitas kemanusiaan yang lain dan beralih pada fungsi-fungsi kebinantangannya. Seperti binatangnya orang-orang yang katanya sedang jatuh cinta.

Setelah panjang lebar aku berbusa-busa menjelaskan kepada Ica yang masih bengong-bengong biadab mencerna apa yang kujelaskan tadi. Aku iseng-iseng mengodanya.

“Emang, pacar kamu alay banget ya, Ca?”

“Iyah, kemarin aku ajakin ke perpus, dia malah ngajakin selfi-selfi sama goyang dua jari.”

“Udah, Ca, putusin aja!” (eh ini kok jadi Felix Shiaw)

“Ya, nanti.”

“Emang, kamu pacaran sama siapa sih?”

“Duh, aku malu.”

“Si Bambank Lemot?”

“Bukan.”

“Si Udin Kampret?”

“Bukan juga”

“Terus?”

“Bowo Alpenliebe.”

Posting Komentar untuk "FILOSOFI ICA: PACARKU ALAY"