Tradisi Tolak Bala Sebagai Strategi Menjalin Kedekatan Dengan Tuhan, Manusia dan Alam
Tradisi
Tolak Bala merupakan salah satu ritual yang sampai sekarang masih dipertahankan
oleh beberapa masyarakat suku Sasak sebagai wujud menghormati peninggalan
leluhur. Salah satu yang mempertahankan tradisi tersebut ialah komunitas Gedeng
Kedaton yang berdomisili di desa Lendang Nangka kecamatan Masbagik, Lombok
Timur. Komunitas Gedeng Kedaton sendiri bergerak dalam bidang pelestarian
budaya dan kesenian daerah di mana mayoritas anggotanya adalah pemuda. Meski di
tengah gempuran modernisme yang kian hari makin massif mengikis kesadaran
pemuda masa kini dalam merawat kebudayaan tradisional, hal itu tidak berlaku
bagi anggota Gedeng Kedaton. Mereka tahu betul akan pentingnya menjaga
nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu.
Sudah
kesekian kali komunitas ini menyelenggarakan ritual Tolak Bala namun
partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam acara kebudayaan tersebut masih
terbilang memperihatinkan. Masyarakat bahkan banyak yang menyalah pahami
tradisi tersebut sebagai sebuah ritual sesat karena dianggap tidak sesuai
dengan syari’at agama, akan tetapi sesungguhnya tradisi ini sendiri bertujuan
untuk membangun kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Salah satu tokoh
budayawan Lalu Malik Hidayat selaku penanggung jawab komunitas Gedeng Kedaton menegaskan
sendiri bahwa sebagai seorang Muslim dirinya dan anggota Gedeng Kedaton yang
lain tidak berani menduakan Allah SWT. Ritual tradisional ini semata-mata untuk
membangun kedekatan dengan Allah SWT melalui perantara budaya yang diturunkan
leluhur yang sedari berabad-abad lalu sudah menjadi seorang Muslim.
Membangun
kedekatan dengan Tuhan misalnya, dapat dilihat dari bagaimana ritual tersebut
diadakan sesuai kalender penanggalan Islam. Selain penetapan tanggal dan waktu,
konsep yang diterapkan tidak terlepas dari ritual keislaman, seperti dzikir,
baca ayat-ayat pendek dan do’a. Bertujuan untuk tetap menjaga keimanan dan
pemahaman terhadap kekuasaan Tuhan. Contohnya dalam bulan Muharam, suku sasak
mengenal istilah bubur putek yang
melambangkan harapan bahwa lembaran awal, pada awal tahun akan menjadikan seseorang
termotivasi untuk tetap menjaga keputihan hati dan dirinya selama satu tahun
kedepan. Sehingga selama bulan bubur putek
seseorang akan tetap menjaga kesucian itu, bukan hanya pada momen ketika mengadakan
acara ritual tersebut. Tetapi diharapkan sepanjang masa seseorang itu akan diingatkan,
sehingga mereka akan selalu mencoba untuk menjaga kemurnian dan kesucian hati
beserta dirinya. Masuklah kemudian pada bulan bubur beak yang dikenal dengan bulan safar yang sangat diyakini bahwa
bubur beak merupakan bulan yang
sangat keras karena penuh dengan cobaan, godaan dan sebagainya. Sehingga harus dilakukan
ritual Tolak Bala, memohon kepada Allah SWT serta memasrahkan diri kepada-Nya
agar terjaga dari segala balaq yang
ada pada bulan bubur beak.
Lebih
jauh lagi bila dilihat secara seksama ritual tradisional tersebut tidak hanya
untuk membangun hubungan antara manusia dengan Tuhan semata. Ada hubungan yang telah
lama terlupakan dari kehidupan manusia masa kini yang tidak kalah penting untuk
dibangun dan dipertahankan, yakni hubungan antara manusia dengan alam. Komunitas
Gedeng Kedaton sadar betul pentingnya harmonisasi antara manusia dengan alam
karena manusia sejatinya bergantung pada alam untuk memenuhi kehidupan
sehari-seharinya. Melalui ritual tradisional Tolak Bala ini, bagi komunitas Gedeng
Kedaton adalah salah satu celah yang dapat digunakan untuk merealisasikan hal
tersebut. Keseriusan untuk membangun hubungan dengan alam ini dapat dilihat
dari lokasi yang dijadikan sebagai tempat awal pelaksanaan ritual Tolak Bala
yang dilakukan di sumber mata air Otak
Aiq (pusat air) Tojang desa Lendang
Nangka.
Masyarakat
khususnya desa Lendang Nangka, percaya bahwa air adalah sumber penghidupan
karena dengan air lahan-lahan pertanian dapat tumbuh subur. Itulah kemudian
yang menjadi alasan Otak Aiq (pusat air) dijadikan lokasi ritual
Tolak Bala. Tolak Bala juga merupakan wujud dari penghormatan terhadap sumber
kehidupan itu, sekaligus memperlihatkan bagaimana kemudian cara manusia
mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan sumber kehidupan
berupa air.
Di
sisi lain hubungan antara sesama manusia adalah strategi lain dari pada tradisi
Tolak Bala ini yang mana ritual tersebut secara langsung berusaha untuk
membangun keharmonisan manusia dengan sesamanya. Terlihat dari susunan acara
Tolak Bala yang dimulai dengan ngangkat bubur beak pada sore hari
sampai menjelang maghrib, kemudian dilanjutkan Ba’da isya dengan acara bubur be’ak yang diisi dengan kegiatan
berdzikir dan berd’oa penolakan bala, setelah itu diakhiri dengan acara pencucian
pusaka sebagai penutup ritual. Melihat dari susunan acara yang
dilakukan membutuhkan kehadiran dan kerjasama yang erat dari masyarakat agar ritual
tradisi budaya leluhur ini dapat terselenggara dengan baik. Oleh karenanya, dalam
kegiatan ritual tersebut masyarakat diharapkan dapat saling bersilaturahmi dan
bergotong royong dari awal acara hingga akhir acara. Artinya ritual Tolak Bala
mensingkronkan semua aspek kehidupan sosial masyarakat yang diharapkan tidak
akan pernah lepas dari sistem budaya yang bernuansa Islam, sosial dan ekologis.
Posting Komentar untuk "Tradisi Tolak Bala Sebagai Strategi Menjalin Kedekatan Dengan Tuhan, Manusia dan Alam"